Biografi Konfusius ~ Putra Gantiwarno
Selamat datang, terima kasih atas kunjungannya. Salam perdamaian

Biografi Konfusius


Konfusius merupakan sebutan atau nama latin dari seseorang yang di Cina dikenal dengan Kong Fu-tze. Kong Fu-tze sendiri merupakan panggilan kehormatan yang diberikan kepadanya. Sedangkan namanya sendiri adalah Kong Chiu. Kong merupakan nama marga atau nama keluarganya, sedangkan namanya sendiri adalah Ch’iu (artinya bukit). Ia dilahirkan pada 551 SM di desa Ch’ang Ph’ing, di Qufu negara feodal Lu, di masa pemerintahan dinasti Zhou. Pada bagian ini, kita akan melihat bersama tentang kehidupan Konfusius dan latar belakang keluarganya.



Di dalamnya kita bisa melihat perjalanan hidupnya dari lahir hingga kematiannya, situasi sosial yang melatarbelakangi gagasan dan ajaran-ajarannya, serta karakter pribadi Konfusius. Dengan ini, kita bisa semakin mengenal Konfusius dan dengan begitu hal ini akan membantu kita dalam memahami ajaran dan gagasan-gagasannya.

Riwayat hidup Konfusius ini akan dibagi dalam 5 bagian. Pertama, Leluhur, masa kecil dan masa muda Konfusius (551-531 SM) yang akan melihat asal usul dan latar belakang keluarga Konfusius serta keadaan keluarganya yang miskin; kedua, Masa dewasa muda (531-501 SM) yang akan bercerita tentang kehidupan Konfusius sejak pernikahannya, pekerjaannya setelah menikah dan peristiwa kematian sang ibu; ketiga, masa pelayanan dalam pemerintahan (500-496 SM) yang bercerita tentang Konfusius dipercaya untuk menjalankan pemerintahan di Lu dan diangkat sebagai hakim di Chung-tu. Di sini, kita juga akan melihat proses turunnya Konfusius dari tampuk pemerintahan Lu yang disebabkan oleh adanya persaingan antar negara; keempat, masa mengembara (496-483 SM) berbicara tentang masa-masa sulit yang dialami Konfusius setelah keluar dari Lu; dan kelima, Masa tua dan kematiannya (482-479 SM) yang diwarnai kisah tragis kematian para murid kesayangannya, dan juga berbicara tentang kematiannya sendiri.

Dari seluruh perjalanan dan peristiwa hidup Konfusius ini, terlihat dengan jelas rangkaian hidup seorang ‘guru agung’ yang tidak hanya piawai dalam mengajar murid-muridnya dengan kata-katanya yang bijaksana, tetapi juga menghayati hidup sesuai dengan apa yang diajarkannya sendiri. Dengan ini ia menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang tokoh yang pantas untuk diteladani.

2. Leluhur, Masa Kecil dan Masa Muda

Ketika Cina berada di bawah pemerintahan Dinasti Zhou, terdapatlah seorang bernama Chi yang bergelar Wei. Ia memiliki cucu yang menjadi seorang kepala Negara feodal Min. cucunya tersebut mempunyai dua orang anak bernama Fu-fu Ho dan Fang sze. Tiga keturunan setelah Fu-fu Ho, lahirlah Chang Kao fu, Wu dan Hsuan. Dari Chang Kao-fu inilah lahir Kong Fu Chia, yang darinya nama marga Kong berasal.
Pada jamannya, Kong Fu-chia dikenal sebagai seorang pejabat pemerintahan yang loyal dan jujur. Selain itu ia memiliki seorang istri yang sangat cantik. Suatu ketika bangsawan Huang tu, bertandang ke rumahnya dan diterima oleh Kong Fu-chia bersama istrinya. Setelah melihat istri Kong Fu-chia ia tertarik dengan kecantikannya dan berusaha untuk memilikinya. Hal ini mengakibatkan terjadinya perseteruan di antara kedua keluarga tersebut. Untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, bangsawan Huang tu tidak segan-segan menggunakan kekuasannya. Karena merasa terancam, Kong Fu-chia melarikan diri dan menetap di Lu. Selama dalam pelarian, mereka hanya yang membawa barang-barang yang diperlukan untuk di perjalanan. Karenanya tidaklah mengherankan jika ketika mereka tiba dan mulai menetap di Lu, mereka hidup dalam keadaan sangat miskin. Stelah menetap di Lu, Kong Fu-chia berganti nama, dan dikenal sebagai Kong Fang-shu.

Kong Fang-shu, mempunyai seorang anak bernama Po-Hsia. Darinya lahirlah Shu Liang-ho yang tidak lain adalah ayah Konfusius. Konfusius merupakan anak laki-laki pertamanya, setelah sebelumnya ia menikah dan dikarunia 9 orang anak perempuan. Konfusius lahir ketika ayahnya berusia 64 tahun. Ibunya bernama Zheng-zhai yang berasal dari keluarga Yen yang tinggal di daerah Song.
Pada masa mudanya, Shu Liang-ho dikenal sebagai seorang perajurit Lu. Ia terkenal karena keberanian dan kepahlawanannya. Ketika terjadi pertempuran di Biyang pada 563 SM. Pada waktu itu Lu berada di bawah kekuasaan Xiang. Karena meletus pemberontakan di Biyang, ia memerintahkan Jendral Meng Sun-mie dan pasukannya untuk menyerbu daerah itu. Shu Liang ho merupakan salah satu anggota pasukan yang dipilih untuk menumpas pemberontakan di Biyang. Ketika sampai di perbatasan kota itu, Jendral Meng Sun-mie dan pasukannya melihat bahwa pintu gerbang telah terbuka. Saat itu juga mereka menyadari kemungkinan akan adanya perangkap di baliknya. Untuk memastikannya, dikirimlah beberapa pasukan dengan mengendarai kereta perang untuk masuk ke dalamnya. Ketika sampai di dalam, pasukan pemberontak datang menyerbu. Melihat hal ini mereka segera berbalik keluar di bawah hujan anak panah. Sementara pintu gerbang mulai menutup. Ketika pintu gerbang kota itu hampir tertutup seluruhnya dan melihat bahwa masih ada beberapa teman yang tertinggal di dalamnya, Shu Liang ho segera melompat dan berlari mendekati pintu gerbang kota yang hampir tertutup itu. Dengan sekuat tenaga, ia menahannya dengan bahunya hingga seluruh temannya dapat keluar dan meninggalkan tempat itu dengan selamat.

Ketika berusia 3 tahun, Shu Liang ho, ayahnya meninggal dunia dan dikuburkan di Fang shan. Fang shan terletak di Lu bagian timur. Meskipun demikian, sampai ibunya meninggal dunia, ia tidak tahu di mana letak makam ayahnya. Sejak saat itu Konfusius dibesarkan dan dididik oleh ibunya. Ketika masih anak-anak, Konfusius sering bermain upacara mempersembahkan kurban kepada leluhur. Ketertarikannya pada permainan tersebut, berawal ketika ibunya memberikan ijin untuk melihat langsung upacara persembahan kurban yang diadakan di ibu kota Lu. Sepulangnya dari sana, ia langsung menirukan apa yang dilalukan oleh pemimpin upacara persembahan kurban (master of ceremony) ketika menjalankan tugasnya. Sejak saat itu ia tidak pernah melewatkan waktu untuk menyaksikan secara langsung upacara persembahan kurban setiap kali diadakan di ibu kota Lu.

Ia menghabiskan masa remajanya dengan belajar. Ia mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang pertama dari ibunya sendiri. Meskipun demikian, dengan kecerdasannya dan dibarengi oleh kedisiplinan yang diterapkan oleh ibunya, kemampuan berpikir dan kecerdasannya berkembang dengan baik. Ibunya mengajarkan enam pelajaran pokok (six art) yang meliputi ritual, musik, memanah, mengendarai kereta perang, berhitung dan menulis kaligrafi Cina. Ia hanya dapat menguasai dengan baik empat mata pelajaran saja yaitu ritual, musik, menulis kaligrafi Cina dan berhitung. Sedangkan dua mata pelajaran lain yang kurang begitu dikuasainya adalah memanah dan mengendarai kereta perang. selain itu, ia juga belajar enam kitab klasik yaitu kitab lagu-lagu dari jaman kuno (The Book of Songs), kitab Sejarah (The Book of History), kitab Ritual (The Book of Rites), kitab Music (The Book of Music) dan Yi Ching (The Book of Change), serta Risalah Musim semi dan musim gugur (The Spring and Autumn Annals) yang kemudian ia perbaharui dan redaksi ulang di usia tuanya.
Karena ibunya semakin sibuk dengan urusan rumah tangga, sementara ia tidak ingin pelajaran untuk anaknya terhambat. Ia memasukkan anaknya ke sekolah negeri. Tetapi hal ini hanya berlangsung selama tiga tahun, karena Konfusius kecil merasa kurang mendapatkan pelajaran yang sesuai dengan kecerdasannya.

Hal ini terjadi karena baginya pelajaran di sekolah tersebut terlalu mudah sehingga merasa bahwa di situ ia kurang bisa berkembang. Karena itu ibunya membawa Konfusius kecil kepada kakeknya (orang tua Zheng zai) untuk mendapatkan pelajaran tambahan. Hal ini membuat pengetahuannya tentang enam pelajaran pokok semakin mendalam, karena dari kakeknya, Konfusius dapat belajar memanah dan mengendarai kereta perang dengan lebih baik. Dengan mempelajari enam mata pelajaran pokok dan enam kitab klasik, tampak bahwa apa yang dipelajari Konfusius merupakan sesuatu yang mendasar dan penting bagi hidupnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakannya, “ketika aku masih muda, keluargaku sangat miskin, karena itu aku harus dapat menguasai banyak hal tapi yang aku kuasai haruslah sesuatu yang berguna saja bagi hidupku.” (The Analects 9:6)

Rupanya, pendidikan yang diperoleh dari ibunya dan ditambah lagi tempaan dari kakeknya dan kecerdasannya yang luar biasa membuatnya memiliki sikap yang baik dan kemampuan untuk bekerja dalam masyarakat. Selain itu, teladan dan kedisiplinan yang diberikan dan diterapkan oleh kakeknya ikut pula menjadi satu hal yang mendasari karakternya.


3. Masa Dewasa Muda

Ketika berusia 19 tahun, Konfusius menikah dengan seorang perempuan dari keluarga Qiguan yang tinggal di Song. Keluarga ini merupakan keluarga baik-baik. Di dalam keluarga tersebut terdapat empat orang gadis cantik yang berkeutamaan, rajin bekerja, serta memiliki kata-kata dan sikap yang baik. Konfusius menikah dengan salah satu dari mereka. Setahun setelah pesta pernikahannya keluarga baru tersebut dikaruniai seorang anak. Pada saat kelahiran anaknya seorang bangsawan di Lu bernama Chao datang mengunjunginya dan memberinya hadiah sepasang ikan gurame (li). Kemudian anak tersebut diberi nama Li Boyu.

Kemungkinan besar, setelah menikah, ia bekerja sebagai pejabat rendahan di kota Cheng di bawah keluarga Mengsun Xie sebagai seorang penjaga lumbung gandum dan merangkap sebagai petugas penarik pajak hasil bumi. Pada saat pertama kali bertemu Konfusius, Mengsun menyadari bahwa Konfusius merupakan seorang yang sangat bertalenta. Karena itu, ketika telah dekat masa panen, ia memutuskan untuk bekerja padanya. Akhirnya ia pun mengundang Konfusius dan mengangkatnya sebagai seorang pegawai rendahan dan menempatkannya di kota Cheng.

Selama menjalankan tugasnya, ia membuat berbagai macam perbaikan yang dianggap perlu. Di antaranya adalah sistem penarikan pajak hasil bumi. Telah menjadi rahasia umum bahwa pada masa itu, seorang penarik pajak dipandang sebagai orang korup. Karena mereka menarik pajak melebihi jumlah yang ditentukan, dan lebih dari itu hasil kelebihannya dipakai untuk kepentingannya sendiri. Keadaan seperti ini tentu saja memberatkan masyarakat yang wajib menyetor pajak hasil bumi. Tentang hal ini perbaikan yang dibuatnya adalah dengan memberikan pengurangan jumlah hasil bumi dan hukuman bagi mereka yang terlambat menyetorkannya. Mereka yang membayar sebelum tanggal yang ditetapkan akan mendapatkan pengurangan jumlah gandum yang harus disetorkan sebanyak 10 % dari jumlah yang telah ditentukan; bagi mereka yang membayar tepat waktu dikenakan potongan sebesar 5 %; mereka yang terlambat harus menyetorkan 10% lebih banyak dari yang seharusnya; sementara mereka yang menolak untuk membayar pajak, tanahnya akan diambil dan diserahkan pada orang lain untuk diolah. Jika seseorang tidak dapat membayar pajak atau tidak mampu memenuhi jumlah yang ditentukan karena gagal panen (tanaman gandumnya kena hama atau penyakit, ia harus membuat laporan secepatnya dan mengajukan permohonan agar dibebaskan dari pembayaran pajak. Selain itu ia selalu memberikan laporan rutin tentang hasil kerjanya terhadap Mengsun Xizi, serta mendiskusikan beberapa hal penting yang terkait dengan pekerjaannya.
Dengan adanya perbaikan itu, pembayaran pajak berlangsung dengan lebih lancar dan orang merasa tidak terbebani. Hal ini membuat Mengsun Xizi merasa puas dan merasa sangat terbantu. Setahun kemudian Konfusius dipercaya untuk bekerja sebagai pejabat rendahan yang bertanggung jawab atas pertanian dan peternakan. Ketika memegang jabatan tersebut, ia mengatakan bahwa “tanaman harus tumbuh dengan subur dan kambing serta seluruh hewan ternak harus gemuk dan sehat.” Selain itu ia juga menjadikan kedua hal tersebut sebagai perhatian utamanya. Hasilnya pun sungguh mengagumkan, tanaman menghasilkan banyak panenan, sementara seluruh hewan ternak terpelihara dengan baik dan sehat. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan Konfusius dalam menata dan mengatur pekerjaannya. Selain itu, ia juga tidak pernah lupa untuk memberikan laporan rutin kepada Mensun Xizi.

Di usianya yang ke-22, Konfusius memutuskan untuk menjadi guru. Tanpa ragu, ia menggunakan tempat tinggalnya sebagai tempat untuk mengajar anak-anak muda yang ingin belajar kebijaksanaan klasik darinya. Ia tidak pernah menolak berapa pun uang yang diberikan oleh para murid sebagai penghargaan atas pengajaran yang diberikannya. Maka tidaklah mengherankan, jika ia memiliki banyak murid yang berasal dari berbagai kalangan. Meskipun demikian, ia tidak sembarangan mengajar. Ia selalu menetapkan standar yang tinggi terhadap setiap muridnya. Selain itu metode yang dipakainya dalam mengajar disesuaikan dengan karakteristik serta kemampuan dasar murid-muridnya. Dari sini dengan jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan Konfusius adalah mengembangkan diri dan potensi dari masing-masing muridnya. Konfusius ingin agar para muridnya memiliki kemampuan untuk berpikir sendiri dan tidak sekedar mengikuti pemikiran gurunya. Ia ingin murid-muridnya dapat mengembangkan sendiri apa yang telah diterima dari gurunya. Semakin hari jumlah muridnya semakin bertambah, bahkan hingga mencapai 3000 orang.

Pada 527 SM, ibu Konfusius meninggal dunia. hal ini membawa kesedihan yang sangat mendalam baginya. Ia selalu ingat berkat usaha keras ibunya, ia menjadi seorang yang terpelajar, mengerti tata krama, serta menguasai enam pelajaran pokok. ia merasa sangat berhutang budi padanya, terlebih ibunya telah membesarkannya sendiri sejak ia berusia 3 tahun. Konfusius ingin menguburkan jenazah ibunya satu liang dengan makam ayahnya seturut tradisi leluhurnya yang masih merupakan keluarga bangsawan pada masa Dinasti Shang. Tetapi sayangnya, ia tidak mengetahui di mana ayahnya dimakamkan. Hal ini terjadi karena ayahnya telah meninggal dunia ketika ia berusia 3 tahun dan ibunya belum sempat memberitahukan keberadaan makam ayahnya kepadanya. Karena itu, Konfusius berusaha untuk mencari tahu letak makam ayahnya dengan pergi ke Wufu yang berada di luar kota Qufu, sambil membawa peti mati yang berisi jenasah ibunya. Setelah lama menunggu, akhirnya ada seorang nenek tua yang sedang lewat jalan itu. Tanpa diduga ternyata ia adalah teman lama ibunya. Kemudian ia mengatakan bahwa ayah Konfusius dimakamkan di lereng Gunung Fangshan yang terletak di sebelah timur Qufu. Mendengar hal ini, Konfusius segera berlutut untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Akhirnya tanpa menunggu lama, Konfusius pun membawa jenasah ibunya ke sana. Ia memakamkan ibunya satu liang dengan jenasah ayahnya. Setelah itu ia membuat nisan setinggi 4 kaki di atasnya, serta mengadakan upacara kematian untuk orang tuanya. Konfusius meratapi kematian ibunya selama 3 tahun, sesuai dengan tata krama seorang anak (rule of propriety).

Peristiwa kematian ibunya digunakan Konfusius untuk memberikan beberapa ajaran kepada para muridnya. Ia mengatakan bahwa sebagai seorang anak, kita mempunyai tugas untuk memberikan penghormatan yang dilandasi oleh rasa terima kasih dan cinta yang mendalam kepada orang tua kita, pada saat mereka meninggal dunia.[17] Setelah masa berkabungnya berakhir, Konfusius segera kembali ke Qufu. Di sana ia melanjutkan aktivitasnya sehari-hari dengan mengajar murid-muridnya. Selain itu ia terus melanjutkan studinya tentang karya-karya literatur kuno dan belajar dari sejarah pemerintahan dinasti-dinasti sebelumnya.

Konfusius meyakini bahwa keutamaan itu dekat dengan musik. Dalam pandangannya, musik dapat melunakkan hati yang keras dan dapat digunakan untuk memperbaiki temperamen seseorang. Karena itu ia ingin seluruh puisi-puisi kuno yang telah dikoleksinya dapat dilagukan dan dinyanyikan dengan iringan alat-alat musik. Konfusius dapat memainkan beberapa jenis alat musik tabuh dan tiup seperti tambur dan seruling. Meskipun demikian, ia kurang mahir dalam memainkan alat musik petik. Padahal menurutnya, alat musik petik mampu menghasilkan suara yang lebih baik ketika digunakan untuk mengiringi sebuah lagu dari pada alat musik lainnya. Ketika diberi tahu bahwa di dalam kelompok musik istana Lu terdapat seorang pemain musik bernama Shi Xiangzi yang mampu memainkan alat musik petik dengan sangat baik, ia memutuskan untuk pergi ke tempat Shi Xiangzi untuk belajar. Shi Xiangzi tinggal di negara feodal Jin.

Di bawah bimbingan Shi Xiangzi, ia tidak sekedar belajar untuk bernyanyi dan memainkan alat musik. Gurunya itu juga mengajarkan makna dari setiap irama musik yang dimainkannya. Dengan kecerdasannya, ia mampu menyerap apa yang diajarkan gurunya itu dengan lebih cepat. Karena itu, tidak mengherankan jika Konfusius pun mengalami kemajuan pesat dalam bermusik. Bahkan ia sanggup menebak dengan benar sifat dan pribadi pengarang sebuah lagu hanya dengan mendengarkan irama lagu yang dimainkannya.
Dalam sebuah perjalanan, Konfusius dan murid-muridnya melalui lereng Gunung Tai. Di sana ia tampak olehnya seorang ibu yang sedang menangis di sebuah makam. Melihat hal itu, ia meminta Tse lu untuk menanyakan apa yang membuat ibu tersebut menangis. Kemudian ibu itu menjawab bahwa suami, ayah mertua dan anaknya telah mati karena terbunuh oleh harimau yang ada di gunung itu. Mendengar jawaban ini, tse lu bertanya lagi, mengapa dia tidak pergi dan meninggalkan tempat itu. Pertanyaan ini dijawab perempuan itu dengan mengatakan bahwa di tempat ia tinggal, tidak ada penindasan dan kesewenang-wenangan pemerintah. Mendengar jawaban ini, Konfusius berkata kepada murid-muridnya bahwa pemerintah yang sering menindas rakyatnya dengan kejam itu lebih kejam dari seekor harimau.[21]
Apa yang diajarkan Konfusius kepada para muridnya saat itu menunjukkan bahwa meskipun tidak terlibat secara langsung dalam urusan pemerintahan negara Lu, Konfusius memiliki perhatian yang besar akan situasi yang terjadi di negara tersebut. Perhatian akan situasi yang terjadi di Lu ini membawa pengaruh terhadap pemikiran dan ajaran-ajarannya yang didasarkan pada kebajikan dan keteladanan setiap pribadi sehingga tercipta keharmonian dan keteraturan di dalam masyarakat.[22] Menurutnya, hal ini harus dimulai dari keluarga.

3. Masa Pelayanan Dalam Pemerintahan

Pada 501 SM, Konfusius menjalankan kehidupan public di pemerintahan. Ia diangkat sebagai hakim dan pemimpin di kota Zhong du. Pada waktu itu, Konfusius berusia 50 tahun. Kota tersebut terletak 90 li (sekitar 30 km) dari ibu kota Lu. Zhong du sebenarnya merupakan daerah yang subur, tetapi karena perdana menteri yang tidak kompeten, perseteruan dan intrik politik di antara para pejabat negara, membuat rakyat hidup menderita dan tertekan. Langkah pertama yang dilakukan Konfusius begitu sampai di kantornya adalah mempromosikan pegawai dan pejabat yang jujur dan taat hukum; mereka yang kemampuannya kurang memadai diturunkan dari jabatannya; sedangkan mereka yang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya demi kepentingan pribadi dimasukkan ke dalam penjara.

Sebelum menentukan apa yang hendak dilakukan untuk masyarakat Zhongdu, ia terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk melihat kehidupan rakyat dan situasi di kota itu secara langsung. Setelah itu ia menetapkan kebijakan yang dirasanya tepat untuk diterapkan di Zhong du untuk memperbaiki keadaan di sana. Dengan segera ia melakukan pembenahan yang perlu di sana, dan hal ini dilakukan melalui pendidikan moral kepada rakyat Zhong du baik dengan kata-kata atau pun tindakan-tindakannya yang pantas untuk diteladani. Karena itu tidaklah mengherankan jika dalam waktu singkat (tiga bulan), dia berhasil mewujudkan pembaharuan kehidupan moral di sana. Pada masa itu, rakyat Zhong du benar-benar memiliki sikap hidup dan pemikiran yang selaras dengan tatanan moral; mereka menghormati orang yang lebih tua, dan memperlakukan yang orang-orang muda dengan penuh cinta dan kebaikan hati.
Atas keberhasilannya memimpin Zhong du, Konfusius dipercaya menjadi menteri pembangunan (the minister of construction) yang bertanggung jawab atas perencanaan tempat peribadatan atau kuil, istana, tata kota ibu kota Lu, pembangunan sarana pengairan dan jembatan. Pada intinya, ia bertanggung jawab atas perencanaan bangunan fisik yang berguna bagi rakyat Lu. Di sela-sela kesibukannya, ia selalu meluangkan waktu untuk mengajar murid-muridnya. Selanjutnya ia diangkat sebagai menteri keadilan yang bertugas menciptakan keamanan Lu. Dengan kebijaksanaan dan integritasnya, ia selalu dapat memecahkan persoalan dan permasalah seputar hukum. Ia juga menjatuhkan hukuman dengan adil dan memberikan hukuman yang sifatnya mendidik sesuai dengan tingkat kesalahan setiap orang yang berbuat jahat. Keberhasilannya ini membuat wewenang dan kekuasaannya meningkat dengan pesat.
Dalam menjalankan administrasi negara, Konfusius memperkuat kedudukan negara dan memperlemah sistem kekeluargaan. Selain itu ia selalu menerapkan ajaran-ajaran klasik yang telah dikuasainya dengan baik dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini secara tidak langsung menjadi suatu pendidikan moral bagi setiap rakyat Lu. Akibatnya, setiap orang yang tinggal di sana memiliki loyalitas dan kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah dan diri mereka sendiri. Di sana, setiap orang melakukan segala sesuatu sejalan dengan prinsip-prinsip moralitas, sehingga tercapai keteraturan dan keselarasan dalam kehidupan sosial di Lu.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Perubahan yang terjadi di Lu terdengar hingga ke luar negeri. Hal ini membuat para pemimpin negara tetangga menjadi iri dan takut. Perasaan tersebut terkait erat dengan kekhawatiran beberapa pimpinan negara tetangga bahwa Lu akan menyerang daerah-daerah di sekitarnya untuk memperluas wilayah dan memperkuat kedudukannya. Kemudian beberapa kepala negara tetangga Lu berunding untuk mencari cara bagaimana mereka dapat memperlemah Lu. Karena itu segera dipilih 80 gadis cantik dan 120 ekor kuda yang terbaik, lalu dikirim ke Lu kepada bangsawan Ding sebagai hadiah. Dengan sembunyi-sembunyi, seorang pejabat Lu bernama Chi Huan menerima semua pemberian itu dan menghantarkannya kepada bangsawan Ding. Selanjutnya, bangsawan Ding menerima pemberian itu dan mulai larut dalam pesta pora dan kesenangan pribadi. Akibatnya banyak urusan negara dan pelayanan kepada rakyat yang terabaikan. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kehidupan bangsa Lu, dan bahkan dapat membuat negara Lu menjadi lemah.

Melihat hal ini, Tze Lu meminta Konfusius untuk segera meninggalkan Lu. Tetapi Konfusius menolaknya dan lebih memilih untuk menunggu hingga datangnya penyelenggaraan upacara persembahan kurban kepada dewa Langit pada musim semi berikutnya. Dengan ini Konfusius bermaksud untuk memberi kesempatan kepada bangsawan Ding untuk kembali kepada prinsip-prinsip moral seperti semula. Akan tetapi, ketika ia melihat bahwa upacara persembahan kurban dilaksanakan secara asal-asalan dan tanpa keantusiasan, ia merasa sangat kecewa. Karena itu dengan berat hati, Konfusius pun akhirnya pergi meninggalkan Lu. Peristiwa itu sekaligus menandai dimulainya masa pengembaraan selama 13 tahun yang harus dijalani oleh Konfusius dan beberapa muridnya.

4. Masa pengembaraan (496 – 483 SM)

Setelah meninggalkan Lu, Konfusius pergi ke Wei, sebuah negara kecil yang terletak di sebelah barat Lu. Meskipun hanya sebuah negara kecil namun, ibu kotanya selalu ramai dikunjungi orang. Hal ini menunjukkan bahwa negara tersebut merupakan negara yang makmur. Selama dalam perjalanan ke negara Wei, Konfusius melewati rumah yang pernah ditempatinya dulu. Ketika itu, tuan rumah sedang melangsungkan upacara kematian. Melihat hal ini, ia meminta Tze-kung untuk mengeluarkan salah satu kuda dari keretanya dan memberikannya sebagai sumbangan duka cita.

Ketika sampai di ibu kota Wei, Konfusius telah berusia 56 tahun. Selama di sana, ia dan para murid yang menyertai perjalanannya tinggal di rumah seorang pejabat yang bersih bernama Yen Chau-yu. Di situ ia tinggal selama 10 bulan. Selama itu, ia terus mengajar murid-muridnya dengan berbagai macam ajaran klasik dan memperdalam pengetahuan mereka akan ritual persembahan dan maknanya. Selain itu, ia juga selalu mencari kesempatan untuk mengajarkan prinsip-prinsip moralitas kepada para pemimpin Wei. Reputasi dan kapasitasnya sebagai seorang cendekiawan membuatnya selalu diterima oleh semua kalangan termasuk kalangan istana. Ia juga sering kali dimintai nasehat yang berguna untuk menyelesaikan suatu masalah. Meskipun demikian, akhirnya ia meninggalkan Wei. Hal ini terjadi karena merasa bahwa para pejabat Wei memang memperlakukannya dengan sangat baik, tetapi mereka tidak mau menerima dan menjalankan ajarannya. Selanjutnya ia memutuskan untuk pergi ke daerah Chan yang terletak di sebelah selatan Wei.

Setelah melewati negara Tsao, sampailah mereka di perbatasan Song. Mereka berniat untuk singgah beberapa waktu lamanya sebelum melanjutkan perjalanan ke Chan. Tetapi ketika sedang mengajarkan praktek ritual persembahan kurban kepada murid-muridnya, seorang pejabat Song bernama Sima Huandui, melihat dan mengenalinya. Kemudian ia mengirim orang untuk menangkap dan membunuhnya. Hal ini dilakukannya karena ia berpandangan bahwa ajaran yang dibawa Konfusius akan dapat membahayakan posisi atau kedudukan para pejabat Song. Mendengar hal ini, para muridnya segera memberi peringatan kepadanya. Meskipun demikian Konfusius masih tetap meneruskan pengajarannya. Tentang hal ini ia berkata, “Jika Langit telah memberikan nilai-nilai kebajikannya kepadaku apa yang dapat dilakukan Sima Huandui kepadaku?” Setelah menyelesaikan pengajarannya, ia dan para muridnya pun segera melarikan diri ke Chan.
Pada 494 SM, Chan mendapat serangan dari Wu. Mendengar hal ini Konfusius memutuskan untuk kembali ke Wei. Di sana ia diterima dengan baik oleh bangsawan Ling. Bahkan ia diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Meskipun demikian, bangsawan tersebut tetap saja tidak mau memberi perhatian pada apa yang diajarkannya. Melihat hal ini, Konfusius berkata kepada para muridnya, “Jika ada penguasa yang mau mempekerjakan aku selama 12 bulan, aku pasti akan menerimanya dan melakukan perbaikan yang perlu di negara itu. Dalam waktu tiga tahun, aku yakin kehidupan di negara itu akan menjadi lebih baik dan teratur.” Selama di Wei, Konfusius menerima banyak undangan dari para pejabat di sana, seperti Kung-shan, Fu-zao, dan Pi-shi tetapi tak satu pun undangan itu diterimanya. Pada tahun yang sama, Bangsawan Ding – pemimpin – dan Chi Huan – pejabat penting yang berasal dari keluarga Chi yang sangat berpengaruh di Lu – meninggal dunia. Sebelum ia meninggal, bangsawan Ding menyesali apa yang pernah dilakukannya dulu terhadap Konfusius. Pada waktu itu, ia tidak mendengarkan nasehat Konfusius sehingga terjebak pada perangkap yang dibuat oleh para pemimpin negara-negara yang iri terhadap kemajuan di Lu. Kemudian, ia meminta putranya yang bernama Chi K’ang untuk memanggil Konfusius agar kembali bekerja padanya. Selanjutnya Chi K’ang segera memanggil Yen Chiu dan mengutusnya ke Chan untuk menemui Konfusius. Dengan sangat antusias, Konfusius menerima tawaran itu dan segera kembali ke Lu.

Pada 490 SM, Konfusis pergi ke Tsai. Selama dalam perjalanan, mereka kehabisan perbekalan. Para muridnya mulai mengeluh dan berkata, “Haruskah manusia utama harus mengalami nasib seperti ini?” mendengar hal ini, Konfusius menjawab, “Manusia utama (Chun Tzu) harus bisa menahan keinginannya, tetapi orang yang berguna (shen ren) ketika ia mengingankan sesuatu ia tidak menutup jalan untuk mencapai keinginannya itu.”

Pada 527 SM, ibu Konfusius meninggal dunia. hal ini membawa kesedihan yang
sangat mendalam baginya. Ia selalu ingat berkat usaha keras ibunya, ia menjadi seorang yang terpelajar, mengerti tata krama, serta menguasai enam pelajaran pokok. ia merasa sangat berhutang budi padanya, terlebih ibunya telah membesarkannya sendiri sejak ia berusia 3 tahun. Konfusius ingin menguburkan jenazah ibunya satu liang dengan makam ayahnya seturut tradisi leluhurnya yang masih merupakan keluarga bangsawan pada masa Dinasti Shang. Tetapi sayangnya, ia tidak mengetahui di mana ayahnya dimakamkan. Hal ini terjadi karena ayahnya telah meninggal dunia ketika ia berusia 3 tahun dan ibunya belum sempat memberitahukan keberadaan makam ayahnya kepadanya. Karena itu, Konfusius berusaha untuk mencari tahu letak makam ayahnya dengan pergi ke Wufu yang berada di luar kota Qufu, sambil membawa peti mati yang berisi jenasah ibunya. Setelah lama menunggu, akhirnya ada seorang nenek tua yang sedang lewat jalan itu. Tanpa diduga ternyata ia adalah teman lama ibunya. Kemudian ia mengatakan bahwa ayah Konfusius dimakamkan di lereng Gunung Fangshan yang terletak di sebelah timur Qufu. Mendengar hal ini, Konfusius segera berlutut untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Akhirnya tanpa menunggu lama, Konfusius pun membawa jenasah ibunya ke sana. Ia memakamkan ibunya satu liang dengan jenasah ayahnya. Setelah itu ia membuat nisan setinggi 4 kaki di atasnya, serta mengadakan upacara kematian untuk orang tuanya. Konfusius meratapi kematian ibunya selama 3 tahun, sesuai dengan tata krama seorang anak (rule of propriety).

Peristiwa kematian ibunya digunakan Konfusius untuk memberikan beberapa ajaran kepada para muridnya. Ia mengatakan bahwa sebagai seorang anak, kita mempunyai tugas untuk memberikan penghormatan yang dilandasi oleh rasa terima kasih dan cinta yang mendalam kepada orang tua kita, pada saat mereka meninggal dunia. Setelah masa berkabungnya berakhir, Konfusius segera kembali ke Qufu. Di sana ia melanjutkan aktivitasnya sehari-hari dengan mengajar murid-muridnya. Selain itu ia terus melanjutkan studinya tentang karya-karya literatur kuno dan belajar dari sejarah pemerintahan dinasti-dinasti sebelumnya.

Konfusius meyakini bahwa keutamaan itu dekat dengan musik. Dalam pandangannya, musik dapat melunakkan hati yang keras dan dapat digunakan untuk memperbaiki temperamen seseorang. Karena itu ia ingin seluruh puisi-puisi kuno yang telah dikoleksinya dapat dilagukan dan dinyanyikan dengan iringan alat-alat musik. Konfusius dapat memainkan beberapa jenis alat musik tabuh dan tiup seperti tambur dan seruling. Meskipun demikian, ia kurang mahir dalam memainkan alat musik petik. Padahal menurutnya, alat musik petik mampu menghasilkan suara yang lebih baik ketika digunakan untuk mengiringi sebuah lagu dari pada alat musik lainnya. Ketika diberi tahu bahwa di dalam kelompok musik istana Lu terdapat seorang pemain musik bernama Shi Xiangzi yang mampu memainkan alat musik petik dengan sangat baik, ia memutuskan untuk pergi ke tempat Shi Xiangzi untuk belajar. Shi Xiangzi tinggal di negara feodal Jin.

Di bawah bimbingan Shi Xiangzi, ia tidak sekedar belajar untuk bernyanyi dan memainkan alat musik. Gurunya itu juga mengajarkan makna dari setiap irama musik yang dimainkannya. Dengan kecerdasannya, ia mampu menyerap apa yang diajarkan gurunya itu dengan lebih cepat. Karena itu, tidak mengherankan jika Konfusius pun mengalami kemajuan pesat dalam bermusik. Bahkan ia sanggup menebak dengan benar sifat dan pribadi pengarang sebuah lagu hanya dengan mendengarkan irama lagu yang dimainkannya.
Dalam sebuah perjalanan, Konfusius dan murid-muridnya melalui lereng Gunung Tai. Di sana ia tampak olehnya seorang ibu yang sedang menangis di sebuah makam. Melihat hal itu, ia meminta Tse lu untuk menanyakan apa yang membuat ibu tersebut menangis. Kemudian ibu itu menjawab bahwa suami, ayah mertua dan anaknya telah mati karena terbunuh oleh harimau yang ada di gunung itu. Mendengar jawaban ini, tse lu bertanya lagi, mengapa dia tidak pergi dan meninggalkan tempat itu. Pertanyaan ini dijawab perempuan itu dengan mengatakan bahwa di tempat ia tinggal, tidak ada penindasan dan kesewenang-wenangan pemerintah. Mendengar jawaban ini, Konfusius berkata kepada murid-muridnya bahwa pemerintah yang sering menindas rakyatnya dengan kejam itu lebih kejam dari seekor harimau.

Apa yang diajarkan Konfusius kepada para muridnya saat itu menunjukkan bahwa meskipun tidak terlibat secara langsung dalam urusan pemerintahan negara Lu, Konfusius memiliki perhatian yang besar akan situasi yang terjadi di negara tersebut. Perhatian akan situasi yang terjadi di Lu ini membawa pengaruh terhadap pemikiran dan ajaran-ajarannya yang didasarkan pada kebajikan dan keteladanan setiap pribadi sehingga tercipta keharmonian dan keteraturan di dalam masyarakat.[44] Menurutnya, hal ini harus dimulai dari keluarga.

3. Masa Pelayanan Dalam Pemerintahan

Pada 501 SM, Konfusius menjalankan kehidupan public di pemerintahan. Ia diangkat sebagai hakim dan pemimpin di kota Zhong du. Pada waktu itu, Konfusius berusia 50 tahun. Kota tersebut terletak 90 li (sekitar 45 km) dari ibu kota Lu. Zhong du sebenarnya merupakan daerah yang subur, tetapi karena perdana menteri yang tidak kompeten, perseteruan dan intrik politik di antara para pejabat negara, membuat rakyat hidup menderita dan tertekan. Langkah pertama yang dilakukan Konfusius begitu sampai di kantornya adalah mempromosikan pegawai dan pejabat yang jujur dan taat hukum; mereka yang kemampuannya kurang memadai diturunkan dari jabatannya; sedangkan mereka yang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya demi kepentingan pribadi dimasukkan ke dalam penjara.

Sebelum menentukan apa yang hendak dilakukan untuk masyarakat Zhongdu, ia terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk melihat kehidupan rakyat dan situasi di kota itu secara langsung. Setelah itu ia menetapkan kebijakan yang dirasanya tepat untuk diterapkan di Zhong du untuk memperbaiki keadaan di sana. Dengan segera ia melakukan pembenahan yang perlu di sana, dan hal ini dilakukan melalui pendidikan moral kepada rakyat Zhong du baik dengan kata-kata atau pun tindakan-tindakannya yang pantas untuk diteladani. Karena itu tidaklah mengherankan jika dalam waktu singkat (tiga bulan), dia berhasil mewujudkan pembaharuan kehidupan moral di sana. Pada masa itu, rakyat Zhong du benar-benar memiliki sikap hidup dan pemikiran yang selaras dengan tatanan moral; mereka menghormati orang yang lebih tua, dan memperlakukan yang orang-orang muda dengan penuh cinta dan kebaikan hati.
Atas keberhasilannya memimpin Zhong du, Konfusius dipercaya menjadi menteri pembangunan (the minister of construction) yang bertanggung jawab atas perencanaan tempat peribadatan atau kuil, istana, tata kota ibu kota Lu, pembangunan sarana pengairan dan jembatan. Pada intinya, ia bertanggung jawab atas perencanaan bangunan fisik yang berguna bagi rakyat Lu. Di sela-sela kesibukannya, ia selalu meluangkan waktu untuk mengajar murid-muridnya. Selanjutnya ia diangkat sebagai menteri keadilan yang bertugas menciptakan keamanan Lu. Dengan kebijaksanaan dan integritasnya, ia selalu dapat memecahkan persoalan dan permasalah seputar hukum. Ia juga menjatuhkan hukuman dengan adil dan memberikan hukuman yang sifatnya mendidik sesuai dengan tingkat kesalahan setiap orang yang berbuat jahat. Keberhasilannya ini membuat wewenang dan kekuasaannya meningkat dengan pesat.

Dalam menjalankan administrasi negara, Konfusius memperkuat kedudukan negara dan memperlemah sistem kekeluargaan. Selain itu ia selalu menerapkan ajaran-ajaran klasik yang telah dikuasainya dengan baik dalam menjalankan pemerintahan. Hal ini secara tidak langsung menjadi suatu pendidikan moral bagi setiap rakyat Lu. Akibatnya, setiap orang yang tinggal di sana memiliki loyalitas dan kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah dan diri mereka sendiri. setiap orang melakukan segala sesuatu sejalan dengan prinsip-prinsip moralitas, sehingga dalam kehidupan setiap rakyat Lu terwujud kesejahteraan, kebahagiaan dan keselarasan satu sama lain.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Perubahan yang terjadi di Lu terdengar hingga ke luar negeri. Hal ini membuat para pemimpin negara tetangga menjadi iri dan takut. Perasaan tersebut terkait erat dengan kekhawatiran beberapa pimpinan negara tetangga bahwa Lu akan menyerang daerah-daerah di sekitarnya untuk memperluas wilayah dan memperkuat kedudukannya. Kemudian beberapa kepala negara tetangga Lu berunding untuk mencari cara bagaimana mereka dapat memperlemah Lu. Karena itu segera dipilih 80 gadis cantik dan 120 ekor kuda yang terbaik, lalu dikirim ke Lu kepada bangsawan Ding sebagai hadiah. Dengan sembunyi-sembunyi, seorang pejabat Lu bernama Chi Huan menerima semua pemberian itu dan menghantarkannya kepada bangsawan Ding. Selanjutnya, bangsawan Ding menerima pemberian itu dan mulai larut dalam pesta pora dan kesenangan pribadi. Akibatnya banyak urusan negara dan pelayanan kepada rakyat yang terabaikan. Hal ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kehidupan bangsa Lu, dan bahkan dapat membuat negara Lu menjadi lemah.

Melihat hal ini, Tze Lu meminta Konfusius untuk segera meninggalkan Lu. Tetapi Konfusius menolaknya dan lebih memilih untuk menunggu hingga datangnya penyelenggaraan upacara persembahan kurban kepada dewa Langit pada musim semi berikutnya. Dengan ini Konfusius bermaksud untuk memberi kesempatan kepada bangsawan Ding untuk kembali kepada prinsip-prinsip moral seperti semula. Akan tetapi, ketika ia melihat bahwa upacara persembahan kurban dilaksanakan secara asal-asalan dan tanpa keantusiasan, ia merasa sangat kecewa. Karena itu dengan berat hati, Konfusius pun akhirnya pergi meninggalkan Lu. Peristiwa itu sekaligus menandai dimulainya masa pengembaraan selama 13 tahun yang harus dijalani oleh Konfusius dan beberapa muridnya.

4. Masa pengembaraan (496 – 483 SM)
Setelah meninggalkan Lu, Konfusius pergi ke Wei, sebuah negara kecil yang terletak di sebelah barat Lu. Meskipun hanya sebuah negara kecil namun, ibu kotanya selalu ramai dikunjungi orang. Hal ini menunjukkan bahwa negara tersebut merupakan negara yang makmur. Selama dalam perjalanan ke negara Wei, Konfusius melewati rumah yang pernah ditempatinya dulu. Ketika itu, tuan rumah sedang melangsungkan upacara kematian. Melihat hal ini, ia meminta Tze-kung untuk mengeluarkan salah satu kuda dari keretanya dan memberikannya sebagai sumbangan duka cita.

Ketika sampai di ibu kota Wei, Konfusius telah berusia 56 tahun. Selama di sana, ia dan para murid yang menyertai perjalanannya tinggal di rumah seorang pejabat yang bersih bernama Yen Chau-yu. Di situ ia tinggal selama 10 bulan. Selama itu, ia terus mengajar murid-muridnya dengan berbagai macam ajaran klasik dan memperdalam pengetahuan mereka akan ritual persembahan dan maknanya. Selain itu, ia juga selalu mencari kesempatan untuk mengajarkan prinsip-prinsip moralitas kepada para pemimpin Wei. Reputasi dan kapasitasnya sebagai seorang cendekiawan membuatnya selalu diterima oleh semua kalangan termasuk kalangan istana. Ia juga sering kali dimintai nasehat yang berguna untuk menyelesaikan suatu masalah. Meskipun demikian, akhirnya ia meninggalkan Wei. Hal ini terjadi karena merasa bahwa para pejabat Wei memang memperlakukannya dengan sangat baik, tetapi mereka tidak mau menerima dan menjalankan ajarannya. Selanjutnya ia memutuskan untuk pergi ke daerah Chan yang terletak di sebelah selatan Wei.

Setelah melewati negara Tsao, sampailah mereka di perbatasan Song. Mereka berniat untuk singgah beberapa waktu lamanya sebelum melanjutkan perjalanan ke Chan. Tetapi ketika sedang mengajarkan praktek ritual persembahan kurban kepada murid-muridnya, seorang pejabat Song bernama Sima Huandui, melihat dan mengenalinya. Kemudian ia mengirim orang untuk menangkap dan membunuhnya. Hal ini dilakukannya karena ia berpandangan bahwa ajaran yang dibawa Konfusius akan dapat membahayakan posisi atau kedudukan para pejabat Song. Mendengar hal ini, para muridnya segera memberi peringatan kepadanya. Meskipun demikian Konfusius masih tetap meneruskan pengajarannya. Tentang hal ini ia berkata, “Jika Langit telah memberikan nilai-nilai kebajikannya kepadaku apa yang dapat dilakukan Sima Huandui kepadaku?” Setelah menyelesaikan pengajarannya, ia dan para muridnya pun segera melarikan diri ke Chan.
Pada 494 SM, Chan mendapat serangan dari Wu. Mendengar hal ini Konfusius memutuskan untuk kembali ke Wei. Di sana ia diterima dengan baik oleh bangsawan Ling. Bahkan ia diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Meskipun demikian, bangsawan tersebut tetap saja tidak mau memberi perhatian pada apa yang diajarkannya. Melihat hal ini, Konfusius berkata kepada para muridnya, “Jika ada penguasa yang mau mempekerjakan aku selama 12 bulan, aku pasti akan menerimanya dan melakukan perbaikan yang perlu di negara itu. Dalam waktu tiga tahun, aku yakin kehidupan di negara itu akan menjadi lebih baik dan teratur.” Selama di Wei, Konfusius menerima banyak undangan dari para pejabat di sana, seperti Kung-shan, Fu-zao, dan Pi-shi tetapi tak satu pun undangan itu diterimanya. Pada tahun yang sama, Bangsawan Ding – pemimpin – dan Chi Huan – pejabat penting yang berasal dari keluarga Chi yang sangat berpengaruh di Lu – meninggal dunia. Sebelum ia meninggal, bangsawan Ding menyesali apa yang pernah dilakukannya dulu terhadap Konfusius. Pada waktu itu, ia tidak mendengarkan nasehat Konfusius sehingga terjebak pada perangkap yang dibuat oleh para pemimpin negara-negara yang iri terhadap kemajuan di Lu. Kemudian, ia meminta putranya yang bernama Chi K’ang untuk memanggil Konfusius agar kembali bekerja padanya. Selanjutnya Chi K’ang segera memanggil Yen Chiu dan mengutusnya ke Chan untuk menemui Konfusius. Dengan sangat antusias, Konfusius menerima tawaran itu dan segera kembali ke Lu.

Pada 490 SM, Konfusis pergi ke Tsai. Selama dalam perjalanan, mereka kehabisan perbekalan. Para muridnya mulai mengeluh dan berkata, “Haruskah manusia utama harus mengalami nasib seperti ini?” mendengar hal ini, Konfusius menjawab, “Manusia utama (Chun Tzu) harus bisa menahan keinginannya, tetapi orang yang berguna (shen ren) ketika ia mengingankan sesuatu ia tidak menutup jalan untuk mencapai keinginannya itu.” Di sini, pencapaian keinginan itu selalu dilakukan dalam ruang interaksi sosial, dan dinyatakan dalam bentuk usaha untuk memberikan sesuatu yang berguna bagi masyarakatnya, terlebih pelayanan dalam pemerintahan. Hal ini terjadi karena pelayanan dalam pemerintahan dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk ‘mendidik’ sebanyak mungkin orang agar mereka menjadi manusia utama, melalui kebijakan yang dibuatnya, pesan atau ajaran moral dan terutama melalui sikap hidupnya yang pantas untuk diteladani. Konfusius dan para muridnya menderita kelaparan tujuh hari lamanya. Meskipun demikian, Konfusius tetap terlihat tenang dan gembira menghadapi kesulitan itu. Mereka tinggal di wilayah Tsai sampai 489 SM.

5. Masa Tua: Pengkompilasian Kitab-kitab Kuno dan kematiannya (482-479 SM)
Pada masa ini, Konfusius telah berusia 69 tahun. Di usianya itu, ia telah mampu melakukan apa yang diinginkannya tanpa melanggar prinsip-prinsip moral. Banyak orang dari segala kalangan selalu menerima dan memperlakukannya dengan sangat baik, tetapi hanya sedikit orang saja yang mau menerima dan melakukan ajarannya. Bangsawan Ai dan Chi Kang selalu menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka, tetapi mereka tidak pernah mau mendengarkan apa lagi menjalankan nasehat-nasehatnya. Hal ini membuatnya sangat sedih dan tidak mau lagi terlibat dalam urusan negara, dan lebih memilih untuk menyelesaikan peredaksian karya-karya literatur klasik.
Szema-chien menyatakan bahwa Konfusius menulis pendahuluan buku Su-Ching; memperdalam dan memperluas makna ritual dengan nilai-nilai kebijaksanaan manusia utama dan raja-raja yang berasal dari generasi sebelumnya; mengumpulkan dan meredaksi puisi-puisi kuno, serta melakukan pembaruan musik-musik yang dijadikan pengiring upacara ritual. Selain itu, ia juga mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari kitab Yi-Ching. Tentang hal ini ia berkata, “jika umurku dapat bertambah beberapa tahun saja, aku akan memberikan waktuku selama 50 tahun untuk mempelajari kitab Yi-Ching, sehingga di kemudian hari, aku akan datang kembali tanpa ada kesalahan besar yang aku perbuat.”

Di akhir hidupnya, Konfusius menulis buku tentang peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di masa Ch’un Ch’iu (musim semi dan musim gugur). Di dalam bukunya tersebut dengan berani ia mengkritik kebijakan para pemimpin Lu dan menampilkan segala peristiwa yang terjadi di Lu secara apa adanya.[63] Pada 479 SM, Tze Lu, salah seorang murid kesayangan Konfusius meninggal dunia. Ada sebuah lukisan yang menggambarkan bagaimana Tze Lu meninggal dunia. Di situ, seorang murid Konfusius bernama Min digambarkan sebagai orang baik. Tze Lu ditampilkan sebagai seorang yang begitu tegas dan tangkas; Yen Yu dan Tze Kung tampak sebagai seorang yang lepas bebas dan memiliki jalan yang lurus. Melihat hal ini, Konfusius terlihat senang. Meskipun demikian, suatu ketika ia mengatakan bahwa Yu – nama panggilan Tze Lu – tidak akan meninggal dengan cara yang biasa. Dulu, pada saat kembali ke Lu, Konfusius meninggalkan Tze Lu dan Tze Kao di Wei untuk bekerja di dalam pemerintahan di sana. Suatu ketika datang berita dari Wei bahwa di sana sedang terjadi kekacauan. Melihat hal ini, Tze Kao segera memikirkan rencana untuk menyelamatkan diri, tetapi Tze Lu lebih ingin mendampingi atasannya yang telah memperlakukannya dengan sangat baik. Akibatnya ia ikut terbunuh dalam kekacauan di Wei tersebut.

Konfusius memimpin upacara kematian salah satu murid terbaik yang pernah dimilikinya tersebut. Menurut peraturan Hsia, jenazah haruslah diberikan pakaian yang terbaik; peti mati mesti dihadapkan ke timur; dan orang yang telah meninggal dunia ini harus tetap diperlakukan dengan hormat layaknya orang yang masih hidup. Sementara itu dalam peraturan Shang, disebutkan bahwa upacara haruslah diadakan di antara dua tiang rumah, dan orang yang telah meninggal dunia itu hendaknya diperlakukan sebagai seorang tamu sekaligus tuan rumah.

Pada 497 SM, akhirnya Konfusius pun meninggal dunia. Meskipun demikian, apa yang telah dicapai selama hidupnya dan segala sesuatu yang dihayatinya mampu membuat kematiannya menjadi begitu bermakna. Selain itu, proses pendidikan dan pengajaran yang telah dilakukannya sejak lama, tampaknya menjadi semacam pesemaian ajaran-ajarannya. Melalui pemikiran dan penafsiran murid-muridnya itu pula, ajaran-ajaran Konfusius akan terus disampaikan pada ‘murid-murid’ yang baru dari generasi yang berbeda hingga akhir masa.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More