Kata MACAPAT, tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita orang jawa khususnya
Jawa Tengah. Semenjak dari bangku pendidikan dasar hingga pendidikan
berikutnya, sering kita di ajarkan tembang-tembang macapat. Meskipun demikian
tidak sedikit dari kita mengerti apa itu Macapat dan apa saja yang termasuk
dalam tembang Macapat. Jangankan mengerti, untuk menyebutkan urut-urutan dari
tembang Macapat itu sendiri terkadang kita kesulitan bahkan tidak hafal.
Ternyata tembang Macapat yang terdiri dari 12 jenis itu tidak sekedar
tembang yang berisikan syair-syair yang bernafaskan jawa, namun syarat akan
makna dan nilai patuah yang sangat luhur bagi kehidupan manusia.
Berikut penulis mencoba menguraikan makna dari ke 12 jenis tembang Macapat
tersebut satu per satu yang penulis susun dari berbagai sumber.
Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan
bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan di
dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat
(membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan
manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke
dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat
mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan.
Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar
menjadi iming-iming, namun dapat menjadi pepeling untuk
perjalanan hidup manusia. Berikut ini alurnya :
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan
menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu,
sudah menjadi kehendakNya si jabang bayi lahir ke bumi. Sang bayi
mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan
yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa
tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan
lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si
ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar
mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi
idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi.
Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan
menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang.
Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya
terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu
waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua
takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai
meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan
harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa
jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang
selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuanya sebagai anugrah dan
berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan
tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya.
Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih
suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi
(diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi
pertiwi.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan
dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua
menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak
salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah.
Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah
menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang
bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah
kaprah.
5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana.
Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan
orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun
dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak
baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika
perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan
dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan
nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat
sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa,
yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi
bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting
hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri
sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit,
sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung
sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih
muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh
rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga
mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa
benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka
panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang
membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa
asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang
pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak
pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema
asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya,
yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar
tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai
cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar
tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan
baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak
tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap
waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah
memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana
adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang
bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu,
malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh
tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan
runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar
merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang
salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak
lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup
menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari
tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya
mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu
tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi
lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan
menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan
rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi
pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan
hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan.
Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang
sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal
banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana,
Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah
menggunakan suku kata dur/ dura
(nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon).
Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura
sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya,
durmala, durniti, durta, durtama, udur,
dst. Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus
menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia
gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami
perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang
dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang
lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan
lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti,
namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli
caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka
bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka
hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang
(mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat
mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini
yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu.
Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak
cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi
sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang
malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup
enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin
mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji.
Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk
telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah
tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang.
Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar
mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat
tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa
kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk
memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah Tuhan
penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala
surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan
di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang
sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri
ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga,
namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala
telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai
dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa,
sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna
tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru
menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan
hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan
dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling
pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.
Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati
sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu
dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha (dunia)
yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang
baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa
kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai
lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para
leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru
setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak
mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga
sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang
mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini,
merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya
para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya
sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa
lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa
hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang
suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan
sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung
kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati.
Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau
mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti
mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang
kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir
belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut
Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka
menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang
hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan
diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok
kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan
suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang
salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak
jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
12. WIRANGRONG
Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah
dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan
bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang
lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh
cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun
artinya manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan
bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya.
Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu
hayuning bawana, rahmatan lil alamin.
Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke
liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange
mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut
dikubur bersama jasad yang kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya
dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan
menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau
melarat, pandai maupun bodoh keparat, yang jelata maupun berpangkat,
tidak pandang derajat seluruh umat. Semua itu sekedar pakaian di
dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah
singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat.
Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa, yakni segenap
jiwa dan raganya.
Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada
seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya
akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya
namun pelit dan suka menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah,
orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai
sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi.
Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu
duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana
yang salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi.
Semua sudah menjadi rumus Ilahi.
Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di
alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan
terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi.
Lain halnya manusia yang berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya
di alam keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi,
kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala
tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali
menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa
hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir.
sumber : kangjanto.blogspot.com