Komjen Pol Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc. (lahir di Pagar Alam, Sumatera Selatan, 1 Juli 1954; umur 55 tahun) adalah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim Polri) yang menjabat sejak 24 Oktober 2008 hingga 24 November 2009. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kapolda Jawa Barat.
Susno Duadji merupakan lulusan Akabri Kepolisian dan mengenyam berbagai pendidikan antara lain PTIK, S-1 Hukum, S-2 Manajemen, dan Sespati Polri. Ia juga mendapat kursus dan pelatihan di antaranya Senior Investigator of Crime Course (1988), Hostage Negotiation Course (Antiteror) di Universitas Louisiana AS (2000), Studi Perbandingan Sistem Kriminal di Kuala Lumpur Malaysia (2001), Studi Perbandingan Sistem Polisi di Seoul, Korea Selatan (2003), serta Training Anti Money Laundering Counterpart di Washington, DC, AS.
Susno Duaji adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Duadji, seorang sopir, dan ibunya, Siti Amah seorang pedagang kecil. Ia adalah suami dari Herawati dan bapak dari dua orang putri.
Lulus dari Akademi Kepolisian 1977, Susno yang menghabiskan sebagian karirnya sebagai perwira polisi lalu lintas, sudah juga mengunjungi 90 negara untuk belajar menguak kasus korupsi. Karirnya mulai meroket ketika dia dipercaya menjadi Wakapolres Yogyakarta dan berturut-turut setelah itu Kapolres di Maluku Utara, Madiun, dan Malang. Susno mulai ditarik ke Jakarta, ketika ditugaskan menjadi kepala pelaksana hukum di Mabes Polri dan mewakili institusinya membentuk KPK pada tahun 2003. tahun 2004 dia ditugaskan di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK ). Sekitar tiga tahun di PPATK, Susno kemudian dilantik sebagai Kapolda Jabar dan sejak 24 Oktober 2008, dia menjadi Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menggantikan Bambang Hendarso Danuri. Kode Susno sejak itu dikenal dengan Truno 3, atau orang nomor tiga paling berpengaruh di Polri setelah Kapolri dan Wakapolri.
Kontroversi Susno Duadji
Pernyataan Susno yang berbunyi “Ibaratnya di sini buaya disitu cicak. Cicak kok melawan buaya” telah menimbulkan kontroversi hebat di Indonesia. Akibat dari pernyataan ini muncul istilah “cicak melawan buaya” yang sangat populer. Istilah ini juga memicu gelombang protes dari berbagai pihak dan membuat banyak pihak yang merasa anti terhadap korupsi menamakan diri mereka sebagai Cicak dan sedang melawan para “Buaya” yang diibaratkan sebagai Kepolisian.
Kode “Truno 3″ disebut dalam percakapan yang disadap oleh KPK sehubungan dengan kasus bank Century.
Pernyataan Susno yang berbunyi ”Jangan Pernah Setori Saya” juga sangat terkenal saat beliau menjabat sebagai kapolda Jabar.
Pada tanggal 5 November 2009, Susno Duadji menyatakan mundur dari jabatannya, namun mulai 9 November 2009 ia kembali aktif sebagai Kabareskrim Polri. Pada 24 November 2009, Kapolri resmi memberhentikannya dari jabatan Kabareskrim. •
Berikut riwayat karir Susno Duadji sebelum menjabat sebagai Kabareskrim Polri.
PAMA POLRES WONOGIRI (1978)PAMA POLRES WONOGIRI (1978)
KABAG SERSE POLWIL BANYUMAS (1988)
WAKA POLRES PEMALANG (1989)
WAKA POLRESTA YOGYAKARTA (1990)
KAPOLRES MALUKU UTARA (1995)
KAPOLRES MADIUN (1997)
KAPOLRESTA MALANG (1998)
WAKAPOLWILTABES SURABAYA (1999)
WAKASUBDIT GAKTIP DIT SABHARA POLRI(2001)
KABID KORDILUM BABINKUM (2001)
KABID BID RAPKUM DIV BINKUM POLRI (2002)
PATI (DALAM RANGKA TUGAS LUAR) FORMASI MABES POLRI WAKIL KEPALA PPATK) (2004)
KAPOLDA JABAR (2008)
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri dengan Susno Duadji,
pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar menguak
korupsi.
Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?
Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja sebagai
seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan. Terbayang ¢kan
betapa sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan yang pas-pasan. Oleh
karena itu, saat lulus SMA saya memilih ke Akpol karena gratis.
Nah, waktu sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa di
antaranya dari kalangan orang kaya, seperti anak pejabat. Sepertinya, enak
sekali mereka ya, bisa beli ini-itu dari uang rakyat. Sejak itulah, terpatri
di benak saya, ada yang tidak benar di negara ini dengan kemakmuran yang
dimiliki oleh para pejabat. Maka, saya sangat bersyukur bisa berperan
memberantas korupsi saat mengabdi di PPATK. Itulah tugas saya yang paling
berkesan selama ini karena bisa menjebloskan menteri, mantan menteri, dan
direktur BUMN, yang memakan uang rakyat. Ada kepuasan batin.
Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang
melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar?
Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau pungli,
terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah korupsi.
Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak zaman
Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum yang korup.
Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau kitanya
sendiri korupsi.
Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam, baru
membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati, direktur,
dan lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi. Kalau aparatnya
korupsi, tamatlah republik ini.
Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke atasan tertingginya,
yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu pejabat-pejabat di Polda.
Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya.
Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di Polda
Jabar ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi yang
bertugas di jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang ketik, atau
petugas kecamatan yang melayani pembuatan akte kelahiran. Akan tetapi,
dimulai dari pimpinan tertinggi di kantor itu.
Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam,
seperti mendapat setoran dari bawahan, setoran dari pengusaha-pengusaha,
mengambil jatah bensin bawahan, atau mengambil anggaran anggota saya. Oleh
karena itu, saya tidak akan minta duit dari dirlantas, direskrim, atau
kapolwil. Tidak juga mengambil anggaran mereka, atau uang bensin mereka.
Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan
karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja.
Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.
Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?
Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita
menunjukkan kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut nama kita
jatuh kalau bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak akan jatuh merek
dengan menangkap seorang kolonel polisi atau polisi berbintang yang korupsi.
Kalau perlu, tulis gede-gede itu di koran.
Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi, akan saya pecat. Jika memang saya
harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar karena semuanya saya pecat
gara-gara korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus ditakutkan.
Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi. Polisi itu
bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa lebih tidak
terhormat kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak korupsi.
Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus korupsi
bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik tipikor Polda Jabar
mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan alasan perlu kajian yang
mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan waktu lama?
Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh lebih
mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap kasus pencurian
jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak kemungkinan pelakunya,
seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan beberapa kemungkinan
lainnya.
Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat. Misal, uang
anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal dicari ke mana uangnya
lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah ditebak. Korupsi itu paling
melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala projek, dan rekanan. Itu saja.
Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam
memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus diakui,
itu (memberantas korupsi) memang susah karena korupsi itu nikmat. Apalagi,
saat memegang sebuah jabatan.
Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda.
Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang.
Pertanyaannya, mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau saya,
jelas tidak. Itu hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa sih duit
banyak-banyak hingga tidak habis tujuh turunan. Gaji saya saja sekarang
sudah besar. Mobil dikasih. Bensin gratis. Ada uang tunjangan ini-itu. Sudah
lebih dari cukup. Anak-anak saya juga sudah kerja semua. Bahkan, gajinya
lebih besar dari saya.
Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap kasus
korupsi?
Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudah bersih di
dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan menjadi salah satu
target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus korupsi biar Jabar
bergetar.
Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut kasus-kasus
korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK pasti mau membantu
asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya. Kita juga bisa diberi
kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap "bermain" bagaimana bisa
dipercaya. Kalau orang sudah percaya sama kita, maka banyak kasus yang
masuk.
Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi digenjot.
Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib administrasi,
salah satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara berbasis IT yang
terintegrasi dari polsek hingga ke polda. Untuk apa? Agar kita tahu setiap
ada perkara yang masuk.
Jadi, alangkah bodohnya seorang kapolda jika tidak mengetahui jumlah perkara
di jajarannya. Kalau jumlahnya saja tidak tahu, bagaimana tahu isi
perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara tersebut, nantinya ada
klasifikasi perkara. Perkara mana yang porsinya polda, polwil, polres, dan
polsek. Untuk polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal lapor boleh di
mana saja.
Kita juga harus mempertanggungjawabkan hal itu ke pelapor dengan mengirim
surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik ini, ini, dan
ini. Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan menjadi standar
penilaian untuk penyidik. Dan kapolda mengetahui semua ini karena sistemnya
ada sehingga tidak pabaliut. Saya paling tidak suka yang pabaliut-pabaliut.
Mungkin, bagi sebagian orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang tidak
tertib administrasi itu paling enak untuk diselewengkan. Benar tidak?
Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar kemungkinan
akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan anggaran yang minim.
Menurut Anda?
Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau anggaran
sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik. Mencari klien
yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain. Siapa yang suruh?
Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik. Kita
tidak perlu sok pahlawan.
Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu ada
lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat serse setor
ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani kapolda. Jangan
pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus agar tidak ada lagi
sistem setoran.
Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga karena
mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau bukan dari
setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha judi, dan
penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya Rp 5-6 juta.
Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya.
Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.
Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di lingkungan
kepolisian?
Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana yang
boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas dilarang dan
ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Titik.
Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan kenikmatan dan
kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan sanjungan, serta nikmat
dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua jalan petantang-petenteng, tetapi
anak buah yang dipimpinnya korupsi dan memberikan pelayanan tidak sesuai
dengan standar. Malu juga dong kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing
(pengawalan), sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.
Polisi yang korup sama saja dengan melacurkan diri. Jadi, kalau saya korup
dengan menerima setoran-setoran tidak jelas, apa bedanya saya dengan
pelacur.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Susno Duadji yang dengan berani mengungkapkan banyak fakta di balik coreng morengnya Republik ini. Dan adalah resiko besar untuk mengungkapkan hal ini. Bukan tanpa bahaya bila Susno Duadji berani “menegakkan para penegak yang doyong kelebihan beban“
Di luar proses nantinya bagaimana, siapa yang salah – siapa yang benar, Susno Duadji layak mendapat bintang penghargaan melebihi apa yang ia dapatkan semasa bertugas selama ini. Berita berhembus, Susno Duadji juga terlibat dengan mafia hukum dan kasus-kasus yang sedang terjadi. Lihat saja, ” batu-batu sandungan sudah dipasang, jebakan-jebakan maut mungkin sudah lama dipersiapkan”. Dan apakah yang akan terjadi selanjutnya kepada Susno Duadji …?
Referensi :
- http://www.forumbebas.com/thread-89727.html
- http://bekasijakarta.blogspot.com/2010/01/biodata-susno-duadji-profile-susno.html
- http://iwansulistyo.com/susno-duadji