Kelebihan dan Keistimewaan Syari’at Islam ~ Putra Gantiwarno
Selamat datang, terima kasih atas kunjungannya. Salam perdamaian

Kelebihan dan Keistimewaan Syari’at Islam

Tidak sedikit orang yang mengindentifikasi dirinya sebagai Muslim. Mereka mengaklaim Islam sebagai suatu doktrin. Tapi ironinya mereka sama sekali tidak mengerti nilai-nilai istimewa dari Islam itu sendiri. Jika sekiranya mereka mengerti tentu mereka akan berpaling dari ajaran-ajarannya.

Oleh karena itu, disini akan dijelaskan secara singkat mengenai kelebihan dan keistimewaan syariat islam. Kita tentu berharap bila kita sebagai umat Islam sudah mengetahui, maka akan menamnbah sikap konsekwen terhadap kebenaran dan bersikap anti-pati terhadap kebatilan.

Allah swt berfirman:

“Sebenarya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya”). (Qs. Al Anbiyaa’ : 18)

Adapun nilai-nilai istimewa syariat Islam, antara lain bersifat (1) Robbani; (2) Kolektif dan Universal; (3) Integral: (4) Luwes dan Komprehensif; dan (5) Adil.

1. Robbani

Yang dimaksud dengan Robbani adalah bahwa syariat Islam berbeda dengan konsepsi gagasan manusia yang sifatnya terbatas, lemah, sangat dipengaruhi oleh domensi tempat, waktu, sikon, tingkat intelektual, kolektifitas, pluralitas, hawa nafsu dan dorongan emosional. Ini disebabkan karena pembuatan syariat Islam adalah Sang Pencipta alam ini, termasuk manusia itu sendiri. Dia Maha mengetahui apa-pa yang bermanfaat dan menjadi kemaslahatan makhluk-Nya.

“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Qs Al Mulk : 14)

Selain itu yang dimaksud dengan Robbani bahwa syariat Islam berfungsi sebagai pengatur hubungan antara manusia dengan Allah melalui Ibadah. Juga sebagai pengatur masalah-masalah lainnya, sperti masalah rumah tangga, peradaban, masalah kriminal, politik dan sebagainya.

Dengan sifat robbani ini, maka seorang muslim tidak mempunyai alternatif lain kecuali menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya ideologi dan konsekwensi logis atas pengakuan sebagai seorang muslim. Allah swt berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Qs Al-Ahzab : 36)

Dan firman-Nya lagi:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (Qs An Nisa : 65)

”…Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang ditunkan Allah, maka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs An Nisa’ : 45)

2. Kolektif dan Universal

Adapun yang dimaksud dengan kolektif dan universal adalah bahwa seluruh hukum yang terdapat dalam syariat Islam bersifat natural serta relevan dengan fitrah kemanusiaan. Oleh karena itu, syariat Islam berfungsi sebagai petunjuk untuk segenap umat manusia tanpa memandang perspektif rasial, etis, suku bangsa, warna kulit dan sosio kulturalnya. Dalam pandangan syariat Islam manusia itu sama, sebagaimana yag dijelaskan Alllah swt dalam firmannya:

“ Dan tiadalah Kami mengutus kamu , melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Qs Al Anbiya : 107)

“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (Qs Saba : 38)

“ Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada semua…” (Qs Al Araf : 158)

Keunikan syariat ini merupakan indikasi dari celupan (shibghah) Allah swt. Jika seadainya yang menciptakan syariat adalah satu kelompok manusia, maka mau tidak mau ia pasti akan terpengaruh oleh faktor-faktor subyektifitas, seperti sukuisme, status sosial, daya tarik pribadi, dan sebagainya. Tetapi karena yang membuatnya adalah Pencipta manusia itu sendiri, maka otomatis Allah tidak membeda-bedakan antara satu individu dengan individu yang lain atau antara satu gololngan dengan yang lain.

3. Integral

Yang dimaksud dengan integral adalah bahwa syariat Islam mampu mengatur tatanan kehidupan dalam seluruh aspek dan dimensinya, baik dalam konteksnya dengan masalah akidah, ibadah, moral maupun yang menyangkut undang-undang yang bersifat umum seperti klutural, kriminal, persoalan pribadi maupun persoalan masyarakat, hubungan diplomatik, dasar-dasar ekonomi, tata karama serta pola hidup bermasyarakat. Semua ini sudah terperinci dalam konsep Ilahiyah yang kekal abadi, yang bersumber dari zat yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, sebagaimana firman-Nya:

“ …Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (Qs An Nahl : 89)

4. Luwes dan Komprehensif

Yang dimaksud dengan luwes dan komprehensif adalah bahwa syariat Islam mampu menjawab tantangan dinamika jaman dan transformasi kultural, khususnya dalam mu’amalah, perundang-undangan, hukum ekonomi dan hubungan internasional.

Dalam masalah perundang-undangan dan pengadilan, Al Qur’an dengan gamblang menjelaskan:

“Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs al Maidah : 8 )

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Qs An Nisa’ 58)

Prinsip dasar yang tertera dalam kedua ayat di atas merupakan kaidah umum yang bersifat absolut , tidak dapat diganggu gugat lagi. Kedua prinsip ini harus diwujudkan dalam setiap dimensi, ruang dan waktu. Sarana perwujudannya dalam satu lembaga hukum atau lebih, atau juga bisa dengan cara terpisah dari badan yudikatif, eksekutif dan legislatif. Yang penting hal itu tidak sampai menimbulkan dampak negatif terhadap kemaslahatan umat.

Tujuan pertama syariat Islam adalah menentukan cara bagaimana prinsip keadilan dapat terwujud. Mekanisme dan tekhnis pelaksanaanya terserah kepada kebijaksanaan orang-orang yang berwenang, dengan syarat kemaslahatan semua pihak dapat terjamin sebagaimana mestinya.

Masalah di atas dapat kita kiaskan dengan prinsip “Syura” dalam firman Allah yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Qs al Baqarah : 282)

Demikianlah pula dalam prinsip-prinsip mulai yang lain, seperti kemasyarakatan, undang-undang dan hukum ekonomi. Adapun hal-hal yang pada dasarnya tidak disebutkan dalam nash baik Al Qur’an maupun Hadits, maka status hukumnya ditentukan setelah melaui proses ijtihad para ulama yang sudah diyakinkan kualitas ilmunya, kesalehannya dan wara’nya. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan mengkiaskannya kepada dalil-dalil yang berbeda tingakatannya, tanpa mengabaikan segi-segi pragmatisnya. Dengan kata lain hal ini tidak bertentangan dengan dinamika perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia.

Tapi untuk masalah-masalah yang sudah ada nashnya secara jelas (qath’i), seperti akidah, rukun iman, hukum ibadah, pengharaman zina, riba, minuman keras, judi, penetapan nishab harta warisan dan masa iddah bagi wanita yang ditalak dan ditinggal wafat suami harus berdasarkan nash tersebut, tidak melaui proses ijtihad.

Faktor lain yang menunjukkan keluweasan dan kekomprehensifan syariat Islam di setiap zaman adalah dengan adanya pengambilan kaidah-kaidah hukum dan nash-nash otentik dan orisinil. Seperti kaidah yang mengatakan, “Kejahatan tidak dapat dihapus dengan kejahatan yang lain. Menanggung kemudharatan khusus untuk mencegah kemudaharatan umum. Dalam kedaan terpaksa dibolehkan memakan yang dilarang dan ditentukan menurut kadarnya. Menolak perusakan lebih utama daripada keuntungan.

5. Adil Mutlak

Yang dimaksud dengan adil mutlak disini adalah bahwa syariat Islam menjamin hak-hak azazi manusia tanpa mengabikannya. Syariat islam melindungi jiwa raga manusia, begitu pula dalam kehormatan, harta, agama serta keyakinan.

Dalam mewujudkan prinsip keadilan, syariat Islam tidak mengenal perbedaan antara satu golongan dengan golongan lain, atau suatau kelompok masyarakat dengan kelompokmasyarakat lain. Syariat Islam tidak memfokuskan ajaran kepada segi kesejahteraan materi serta kemamapanan ekonomi saja. Segi mental spritual juga diperhatikan. Disamping itu syariat Islam juga tidak hanya memutuskan perhatian kepada kehidupan duniawi tetapi ukhrawiyah pun tidak luput dari jangkauannya.

Kini kita tahu, tidak mungkin kita mendapatkan konsepsi buatan manusia yang dapat menjawab secara tuntas dan lengkap semua persoalan. Jangkauan pandangan manusia sebagai makhluk yang terbatas, tentu tidak menyeluruh. Kadang manusia melihat dari satu segi dan melalaikan banyak segi lainnya. Hal ini jauh berbeda dengan Allah, pencipta syariat yang haq karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.

Penegasan dan Pengakuan Terhadap Syari’at Islam

Untuk lebih meyakinkan kita akan keotentikan syariat Islam serta keluwesan, keabadiannya dan kemampuannya dalam memenuhi tuntutan zaman, maka kali ini kita coba simak beberapa pengakuan dari berbagai pihak yang selama ini mungkin dianggap berseberangan dengan Islam.

Pengakuan Nyata dari Berbagai Undang-undang Kontemporer

Di zaman sekarang ini banyak teori perundang-undangan yang amat dibangga-banggakan para filsuf Barat. Mereka menyebut dengan bangga bahwa teori-teori tersebut adalah undang-undang kontemporer, padahal sebetulnya sudah sejak empat belas abad yang lalu syariat Islam sudah mencangkannya.

1. Teori persamaan yang berisi tidak membedakan antara satu individu dengan individu lainnya, antara satu ras dengan ras lain. Juga tidak membedakan warna kulit bahkan antara hakim dengan terdakwa, hal ini dalam syariat Islam sudah ada sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs Al Hujurat : 13)

Teori persamaan di atas belum di kenal oleh undang-undang butan manusia hingga awal abad ke-19. Bahkan jika dilihat dari segi penerapannya, teori persamaan yag dikemukakan tersebut masih bersifat parsial. Jauh sekali jika dibandingkan dengan syariat islam yang telah terwujud utuh dan sempurna.

2. Teori kebebasan. Secara garis besar, Islam menetapkan tiga macam bentuk kebebasan, yakni (i) kebebasan berpikir; (ii) kebebasan beritikad: dan (iii) kebebasan mengemukakan pendapat.

3. Teori musyarah untuk mufakat. Teori ini telah dianjurkan sejak zaman peroide Mekah. Perhatikan ayat berikut ini :

“…urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Qs As Syuraa : 38)

Dalam periode Madinah hal ini lebih ditegaskan lagi dalam ayat yang berbunyi:

“ Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam memutuskan suatu perkara” (Qs Al Imran : 159)

Syariat Islam telah mendahului sebelas abad dalam menetapkan prinsip dasar pengambilan keputusan ini . Prinsip ini baru populer dan ditetapkan di eropa setelah revolusi Perancis. Udang-undang Inggris mulai mengenalnya pada abad ke-17 dan undang-undang Amerika mengenalnya pada abad pertengahan abad ke-18.

4. Teori pembatasan hak kuasa (otoritas) seorang hakim, terdiri atas tiga prinsip dasar, yaitu:

  1. Meletakkan batas kekusaan hakim
  2. Mempertanggungjawabkan pelanggaran dan kesalahan yang diperbuatnya
  3. Memberikan kebebasan kesempatan (hak) kepada rakyat untuk memecatnya bila dianggap perlu

Syariat Islam menetapkan teori ini agar seorang hakim tidak bertindak sewenang-wenang terhadap si terdakwa. Oleh karena itu, syariat Islam menekankan kepada hakim untuk bertindak dalam batas-batas yang telah ditentukan dan tidak boleh melanggarnya. Bila sang hakim melanggar batasan-batasan tersebut. Maka kita wajib tidak mentaatinya.

5. Teori pengukuhan dan transaksi, seperti pengukuhan hutang baik berjumlah kecil maupun besar dengan mencatatnya. Teori ini tercantum dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 282 yang populer dengan “ayat utang-piutang”.

Sebetulnya masih cukup banyak hukum dan teori selain yang telah disebutkan di atas. Semua hukum ini telah dicanang syariat Islam empat belas abad silam. Namun herannya, sampai sekarang masih disangsikan musih-musuh Islam, bahkan terkadang dijadikan sasaran cemoohan. Namun ternayata mereka melihat keampuhan teori islam dalam mewujudkan keadilan baik secara individu maupun kelompok. Syariat islam mampu meredam kriminalitas dalam masyarakat. Oleh karena “mereka” terpaksa menerimanya. Adapun hukum yang paling populer antara lain mengenai hukum tentang talak dan riba.

Hukum Talak terpaksa diakui oleh seluruh negara barat. Pada tahun 1968 mereka menyelenggarakan konfrensi internasioanal yang berlangsung di La Haye. Konfrensi ini dimaksudkan untuk membuat suatu pengakuan terhadap hukm talak. Secara eksplisit hal ini menunjukkan bahwa mereka mengakui hukum yang di kemukakan oleh syariat Islam.

Mengenai riba. Selama ini mereka berasumsi, roda perekonomian akan macet tanpa dimotori uang riba. Tetapi sejumlah pakar ekonomi Barat secara radikal menyangga asumsi keliru ini dengan memakai penedekatan ilmu ekonomi itu sendiri, bukan dengan pendekatan agama. Di antara pakar-pakar tersebut ada seorang ekonom tenar dari Inggris bernama Kenza yang mengatakan bahwa keadilan sosial tidak akan mereta bila praktek pengambilan bunga (riba) tidak dihapuskan. Bila anda ingin mengetahui keterangan ini lebih lengkap, anda saya sarankan mebmbaca tuliasan DR. Isa Abduh dan DR. Ahmad An Najjar serta buku Iqtishaduna yang ditulis oleh Al ustadz Muhammad Baqir ash Shadr dan sejumlah makalah yang ditulis oleh Al Allamah Abu A’laa Maududi. Dalam buku-buku ini anda akan mendapatkan keterangan yang memuaskan.

Abdullah Nashih Ulwan

(Sumber: www.gemainsani.co.id)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More