Yang menyisakan pertanyaan adalah, apakah hal seperti ini itu boleh?! Apakah termasuk cara ta’aruf syar’i ataukah justru termasuk pacaran yang berkedok ta’aruf?!
Untuk mengulas beberapa permasalahan ini, maka kita harus mengetahui beberapa poin berikut ini.
Hakikat ta’aruf
Ta’aruf yang dimaksud di sini adalah proses saling mengenal antara dua orang lawan jenis yang ingin menikah. Jika di antara mereka berdua ada kecocokan maka bisa berlanjut ke jenjang pernikahan namun jika tidak maka proses pun berhenti dan tidak berlanjut.
Islam tidak melarang ta’aruf, dalam sebuah hadits disebutkan, “Dari Anas bin Malik bahwa Al-Mughirah bin Syu’bah ingin menikah seorang wanita, maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – berkata kepadanya, “Pergi lalu lihatlah dia, sesungguhnya hal itu menimbulkan kasih sayang dan kedekatan antara kalian berdua.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no 1938 dan dishahihkan oleh Syekh al-Albani – rahimahullah – dalam Shahih Ibnu Majah)
Rambu-rambu ta’aruf
Ta’aruf bukanlah pernikahan yang menghalalkan apa yang dihalalkan bagi pasangan suami istri. Ta’aruf hanyalah proses pra pernikahan, maka selama akad nikah belum diikrarkan, maka mereka berdua adalah dua orang yang bukan mahram harus menjaga ada-adab islam.
Namun, belakangan ini, ta’aruf mengalami penyempitan makna, karena telah diselewengkan kepada makna pacaran yang jelas-jelas diingkari oleh islam. Islam tidak mensyariatkan pacaran untuk menempuh ke jenjang pernikahan. Namun islam mensyariatkan ta’aruf sesuai batasan-batasan syariat. Ta’aruf yang benar adalah dengan langkah sebagai berikut:
- Pihak lelaki mencari keterangan tentang biografi, karakter, sifat, atau hal lain pada wanita yang ingin ia pinang melalui seseorang yang mengenal baik tentangnya demi maslahat pernikahan. Bisa dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang, seperti istri teman atau yang lainnya. Demikian pula dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berkeinginan meminang dapat menempuh cara yang sama. Dalam menempuh langkah pertama ini, perlu memerhatikan beberapa perkara antara lain: Tidak berkhulwat (berdua-duaan) dalam mencari informasi secara langsung dari wanita terkait dan sebaliknya. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menegaskan, “Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama mahramnya (Riwayat al-Bukhari no. 3006 dan Muslim 1341) Kemudian Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – kembali menjelaskan hikmah dari larangan ini dalam sabdanya, “Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali setan adalah orang ketiga di antara mereka berdua.” (Riwayat Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436)) Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang ke kubangan perzinaan apalagi perbuatan zina itu sendiri dengan berbagai macam bentuknya.
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi tiap anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan melakukan, yaitu kedua mata berzina dengan memandang, kedua telinga berzina dengan mendengar, lisan berzina dengan berbicara, tangan berzina dengan memegang, kaki berzina dengan melangkah, sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkannya atau mendustakannya.” (Riwayat al-Bukhari, lihat Shahih Targhib wa Tarhib II/398) Tidak ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita bukan mahram) - Setelah menemukan kecocokan dan sebelum khitbah, bagi lelaki disunahkan melihat wanita yang ingin ia nikahi. Hal ini karena bermodalkan informasi saja terkadang tidak cukup, karena kondisi seseorang atau kecantikan seseorang itu relatif. Bisa saja cantik menurut kacamata seseorang, namun tidak cantik menurutnya. Sehingga Syekh Utsaimin – rahimahullah – menegaskan, “Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang lain”. (Syarhul Mumti’ XII/20)
Saat seorang lelaki ingin wanita yang akan ia khitbah, maka ia harus memperhatikan rambu-rambu nazhar yang telah dijelaskan oleh Syekh Utsamin – rahimahullah – dalam Syarhul Mumti’ XII/22 sebagai berikut :
- Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala memandangnya. Untuk menjauhi khalwat ketika nazhar, maka ia bisa melihat wanita yang ingin ia pinang ditemani wali si wanita atau jika tidak mampu maka ia bisa bersembunyi dan melihat wanita tersebut di tempat di mana ia sering melalui tempat tersebut.
- Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat, karena nazhar (memandang) wanita ajnabiyah karena syahwat diharamkan. Selain itu, tujuan dari melihat calon istri adalah untuk mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya.
- Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
- Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya nampak dari tubuh sang wanita, seperti muka, telapak tangan, leher, dan kaki.
- Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu hendaknya pandangannya terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat para wanita satu per satu, maka hal ini tidak diperbolehkan.
- Hendaknya sang wanita yang dinazharnya tidak bertabarruj, memakai wangi-wangian, memakai celak, atau yang sarana-sarana kecantikan yang lainnya.
Ta’aruf via facebook?
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hukum asal facebook adalah mubah. Namun, ia bak pisau bermata dua. Artinya, jika tidak digunakan sebagaimana mestinya, bisa saja pisau tersebut menyembelih si empunya. Jika seseorang memandang dirinya lemah, tidak mampu menggunakan dalam kebaikan, maka meninggalkan facebook tentunya lebih utama, apalagi ketika seseorang membuka facebook, minimal ia akan melihat wanita-wanita bukan mahram yang pamer aurat.
Lalu bagaimana jika digunakan sebagai sarana ta’aruf? Jika kita mau mencermati, niscaya kita dapatkan bahwa facebook memiliki beberapa kerusakan, yaitu:
Rawan tipuan, karena kebenaran biodata, foto, dan data-data lainnya berkaitan dengan pemilik akun tersebut tidak bisa dijamin kebenarannya. Siapa sangka pemilik akun berbeda dengan aslinya. Selain itu, kebenaran dan ketulusan niat mereka dalam ber-ta’aruf juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sungguh banyak sekali, ikhwan-ikhwan yang hanya uji coba atau iseng belaka atau mungkin hanya ingin mempermainkan si wanitanya. Bahkan yang lebih parah lagi, banyak juga para lelaki yang menyamar sebagai wanita dalam akun facebook kemudian mengikuti grup-grup facebook khusus bagi wanita.
Khulwat, karena tidak jarang antara dua orang lawan jenis yang saling kirim data, pesan, atau bahkan mungkin memanfaatkan video call yang disediakan oleh facebook. Tentunya hal ini lebih bahaya daripada pertemuan langsung, karena khulwat via facebook lebih tersembunyi dan lebih leluasa untuk menyampaikan apa yang ia kehendaki.
Zina. Sudah kita sebutkan di atas, di antara syarat ta’aruf adalah tidak melakukan perzinaan dengan segala macam bentuknya. Tadi kita sebutkan, bahwa kedua mata berzina dengan memandang, padahal facebook banyak menyuguhkan fasilitas kirim foto dan video. Kedua telinga berzina dengan mendengar, padahal facebook pun bisa saling mendengarkan suara tanpa didengar oleh orang lain. Lisan berzina dengan berbicara, padahal facebook juga memberikan fasiltas untuk saling berbicara. Kalaupun semua ini tidak ada, maka minimal hati seseorang telah berzina, karena telah berangan-angan.
Ketiga hal ini mungkin bisa dikatakan tidak mungkin terlepas dari facebook yang digunakan sebagai sarana ta’aruf. Sehingga, jika tiga hal ini ada atau syarat-syarat ta’aruf di atas belum terpenuhi maka menggunakan facebook sebagai sarana ta’aruf tidak boleh. Kecuali jika seseorang bisa menjamin bisa bersih dari tiga hal ini dan bisa memenuhi syarat-syarat ta’aruf di atas. Dan hal ini menurut hemat penulis, adalah sesuatu yang bisa dikatakan jarang terjadi atau bahkan mustahil.
Demikian, semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk istiqamah dalam menjalankan semua syariat islam yang sempurna ini. Wallahu a’lam. (***)
Sumber: Rubrik Fikih Keluarga, Majalah Sakinah Vol. 11 No. 5