Makna Lebaran (Idul Fitri) ~ Putra Gantiwarno
Selamat datang, terima kasih atas kunjungannya. Salam perdamaian

Makna Lebaran (Idul Fitri)



Idul Fitri (Lebaran) merupakan siklus tahunan yang senantiasa datang dan pergi, berputar secara kontinyu. Karena sifatnya yang demikian inilah ia disebut dengan ‘Id, yang secara etimologi (lughat) berarti ulangan atau putaran.  Namun jika dimaknai secara sempurna lebaran (dalam ajaran Islam) bukan hanya karena perputaran dan siklus secara berulang-ulang datangnya, tapi mesti merujuk pada kata selanjutnya yaitu Al Fithr. Al Fithr inilah sesungguhnya inti dari lebaran dalam ajaran Islam, sehingga perlu kita cermati dan kita kritisi hakekat maknanya secara mendalam. Karena kesalahan dalam memahaminya akan berakibat kegagalan dalam menyelami makna terdalam yang ada di dalamnya.

Istilah Al Fithr pada dasarnya terkait erat dengan konsep kesucian pembawaan (Al Fithrah) dalam ajaran Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam untaian mutiara kalam Nabi Muhammad SAW, yaitu :
Kullu Mauludin Yuuladu ‘alal Fitrah
“(setiap manusia dilahirkan dari perut ibunya dalam keadaan suci dan bersih)”
Konsep fitrah yaitu suatu pembawaan manusia berupa ajaran tauhid ketuhanan yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Sehingga secara alami/natural manusia itu bersifat hanif (mencari yang benar/kebenaran).
Maka dengan datangnya Idul Fitri tahun ini sebenarnya merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan diri (secara personal) tentang pembawaan diri kita yang fithrah dan hanif. Dari sini kemudian diharapkan akan tumbuh sikap instrospeksi secara obyektif sehingga gunungan karang-karang kedloliman yang telah menodai kefithrahan dapat tersucikan secara bersih.
Untuk menggapai fithrah dan hanif tidak bisa terlepas dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadlan yang telah kita laksanakan kemarin.
Banyak manusia yang melakukan puasa di bulan Ramadlan tapi (tidak sedikit) dari mereka hanya mendapatkan lapar dan haus, sebagaimana sabda Rasul : ”Kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illalju’i wal ‘athasyi, berapa banyak dari mereka yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali rasa lapar dan haus.”
Jika kita pahami makna hadis di atas secara mendalam dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa dalam aktifitas puasa yang diutamakan bukan hanya pada keadaan lapar dan haus saja, tapi yang lebih penting dan utama adalah kemampuan mengendalikan diri (hawa annafs), Sehingga prosesi puasa yang hanya mengutamakan rasa lapar dan haus saja tak akan bermakna sama sekali secara ruhaniyah.
Oleh karena itu untuk memahami hakekat dari puasa perlu kita lihat kembali konsep dasar dari puasa itu sendiri yaitu denga tujuan “la’allakum tattaqun” supaya kita menjadi orang-orang yang bertakwa (Al Baqarah :183).
ŁŠَŲ§ Ų£َŁŠُّŁ‡َŲ§ Ų§Ł„َّŲ°ِŁŠŁ†َ Ų¢Ł…َŁ†ُŁˆŲ§ ŁƒُŲŖِŲØَ Ų¹َŁ„َŁŠْŁƒُŁ…ُ Ų§Ł„ŲµِّŁŠَŲ§Ł…ُ ŁƒَŁ…َŲ§ ŁƒُŲŖِŲØَ Ų¹َŁ„َŁ‰ Ų§Ł„َّŲ°ِŁŠŁ†َ Ł…ِŁ†ْ Ł‚َŲØْŁ„ِŁƒُŁ…ْ Ł„َŲ¹َŁ„َّŁƒُŁ…ْ ŲŖَŲŖَّŁ‚ُŁˆŁ†َ (Ł”ŁØŁ£
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Secara vertikal (doktrin KeTuhanan), taqwa bermakna suatu sikap penghambaan diri pada Allah dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya secara kontinyu. Sedangkan secara horisontal (doktrin kemanusiaan) Taqwa bermakna suatu sikap hidup yang dapat berdampingan dengan lingkungannya secara damai dan tentram tanpa ada persengketaan dan sebagainya.
Sedangkan makna taqwa sejati adalah kemampuan mengintegrasikan kedua makna taqwa di atas ke dalam diri setiap individu secara totalitas (kaffah).
Dengan pemahaman demikian berarti puasa dapat dipahami sebagai proses menuju kesejatian diri, menuju taqwa. Karena lewat aktivitas puasa inilah tercipta Riyadlotun Nafs (olah jiwa). Dengan olah jiwa ini secara berkelanjutan akan dapat mengokohkan Himyah (penjagaan) dan Junnah (perlindungan) diri manusia dari dorongan-dorongan nafsu syahwati hayawan (hedonisme), kenikmatan-kenikmatan sesaat, hasrat pengrusakan, penjarahan, perampasan dan rangsangan -rangsangan untuk menindas serta sikap-sikap non fithriyah lainnya. Karena hakekat dari puasa adalah Imsak dan Wara’ yaitu pengendalian diri serta penjagaan diri dari perbuatan-perbuatan mungkar.
Dari uraian di atas dapt kita pahami sesungguhnya ibadah puasa yang baru saja kita laksanakan merupakan suatu proses transformasi spiritual . Artinya bahwa puasa merupakan suatu proses membangun dan mendidik diri sehingga terwujud perubahan-perubahan dalam pola tingkah lakunya secara positif (secara kwalitas maupun kwantitas) untuk meraih derajat muttaqin / orang yang bertaqwa.
Antara pra puasa dan pasca puasa terjadi grafik meningkat / naik dalam beramal shalih dan upaya taqarruban ilAllah , inilah ukuran dalam aktifitas bulan Ramadlan sehingga selepas Ramadlan ini hendaknya kita segera mengevaluasi diri dan melakukan perenungan dengan mata hati, mengasah nurani kita sejauh mana aktifitas Ramadlan telah teraktualisasikan dalam kehidupan kita selanjutnya. Patut kita tanyakan pada diri kita :
Sudah Fithrikah kita ketika kita hidup berkecukupan sementara tetangga kita pendapatan hari ini munkin tidak mencukupi untuk esok hari.
Sudah Fithrikah kita ketika orang-orang di sekitar kita membutuhkan uluran tangan kita, sedangkan kita kadang-kadang acuh tak acuh dsb.
Hal ini penting karena pada kenyataanya dari pengalaman tahun yang lalu Ghirrah ke Islaman kita masih terkotak hanya pada bulan Ramadlan saja , pengekangan-pengekangan hawa nafsu seolah hanya pada bulan Ramadlan saja selebihnya pada 11 bulan lainnya hanya rutinitas sehingga nilai-nilai Ramadlan dengan segala kelebihannya tak terpraktekkan sama sekali.
Agaknya inilah barangkali kelemahan atau kesalahan kita dalam memahami Ramadlan atau ajaran Islam secara totalitas. Ramadlan dipahami sebagai bulan ibadah tapi kemudian tanpa meninggalkan bekas atau perubahan pada perputaran waktu selanjutnya, inilah realita yang ada pada kita yang perlu kita luruskan perlu kita reformasi.
Dengan perenungan-perenungan di atas nurani dan jiwa kita dapat mendomonasi dalam setiap langkah kita, selau merasa bertanggung jawab atas apa yang telah kita lakukan serta mengasah nurani kita untuk bersikap welas asih mengasihi dan menyayangi pada sesamanya, sehingga kita dapat meraih makna Idul Fitri dengan pemahaman yang benar sesuai dengan ajaran Islam.
Idul Fitri tidak hanya dipahami sekedar berbaju baru, makan ketupat, budaya konsumerisme, pameran materi dan kemegahan dunia dsb, karena pemahaman yang demikian hanya menonjolkan unsur lahiriyah tanpa peresapan lebih jauh secara ruhaniyah dan juga akan semakin mempertajam kesenjangan dan sangat bertentangan dengan hakekat Idul Fithri, yaitu menciptakan solidaritas dan semangat kebersamaan serta cinta kasih.
Untuk itu mari Idul Fitri sekarang ini terlebih lagi di tengah berbagai musibah yang sedang menimpa Negeri tercinta ini , kita gunakan sebagai moment untuk introspeksi atas puasa kita sebagai manifestasi ( Hablum MinAllah ) dan instrospeksi serta mawas diri terhadap realitas kehidupan sosial kita sebagai manifestasi (Hablum Minannas). Jangan sampai kita memonopoli kebahagiaan ini, karena sesungguhnya masih banyak jutaan saudara kita yang butuh santunan dan perhatian dari kita, masih banyak saudara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan sehingga pantaskah dalam kondisi yang demikian kita memonopoli kebahagiaan dengan sikap boros, konsumeris dsb, padahal kita lahir dalam keadaan yang sama, polos tanpa ada kelebihan sedikitpun di antara kita. Oleh karena itu hidup saling mengasihi menjadi suatu keniscayaan dan inilah yang harus kita refleksikan dalam kehidupan kita. Serta Idul Fitri ini sebenarnya ujian awal bagi kita selepas ibadah puasa Ramadlan, sejauh mana kemampuan kita menterjemahkan nilai-nilainya dalam realitas kehidupan kita sehari-hari pasca bulan tersebut.
Namun yang jelas dan perlu kita sadari bahwa untuk mewujudkan pesan la’allakum tattaqun, tak dapat hanya dengan menjalankan aktifitas ibadah di bulan Ramadlan saja, tetapi sebaliknya esensinya ada pada sebelas bulan selanjutnya, karena Ramadlan hanya ajang training dan latihan, ajang penggodokan dan pengkaderan, secara rasional orang yang sehabis mendapatkan training dapat meningkatkan atau minimal menerapkan keilmuannya sesuai dengan bidangya masing-masing. Kalau yang terjadi sebaliknya, dalam konteks transformasi spiritual berarti telah gagal menjalani training dan tentunya derajat taqwa tidak akan tercapai, karena derajat agung ini hanya dapat diraih dengan kesungguhan, prestasi dan aktivitas ibadah secara kontinyu dan terus menerus.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More