Ismail berusia belia ketika memulai perjalanannya menuju
Allah SWT. Ibunya membawanya dan menidurkannya di atas tanah, yaitu tempat yang
sekarang kita kenal dengan nama sumur zamzam dalam Ka'bah. Saat itu tempat yang
dihuninya sangat tandus dan belum terdapat sumur yang memancar dari bawah
kakinya. Tidak ada di sana setetes
air pun. Nabi Ibrahim meninggalkan istrinya, Hajar, bersama anaknya yang kecil.
"Wahai Ibrahim kemana engkau hendak pergi dan membiarkan kami di lembah
yang kering ini?" Kata Hajar. "Wahai Ibrahim di mana engkau akan
pergi dan membiarkan kami? Wahai Ibrahim ke mana engkau akan pergi?" Si
ibu mengulang-ulang apa yang dikatakannya. Sedangkan Nabi Ibrahim diam dan
tidak menjawab. Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana perasaan Nabi
Ibrahim saat meninggalkan mereka berdua di suatu lembah yang tidak ada di alamnya
tumbuh-tumbuhan dan minuman. Namun Allah SWT telah memerintahkannya untuk
tinggal di lembah itu. Dengan lapang dada Nabi Ibrahim melaksanakan perintah
Allah SWT.
Dalam kisah-kisah israiliyat (kisah-kisah palsu yang dibuat
oleh Bani Israil) disebutkan bahwa istri pertamanya, Sarah, tampak cemburu pada
Hajar, istri keduanya, sehingga karenanya Nabi Ibrahim harus menjauhkannya
beserta anaknya. Kami percaya bahwa kisah ini palsu dan penuh dengan
kebohongan. Jika kita mengamati kepribadian Nabi Ibrahim, maka kita mengetahui
bahwa beliau tidak akan mendapat perintah dari seorang pun selain Allah SWT.
Kami tidak meyakini bahwa beliau terperangkap dalam perasaan
kecemburuan feminisme dan kami juga tidak percaya bahwa beliau sengaja
membangkitkan perasaan ini. Kami tidak mengira bahwa pribadi Sarah yang mulia
akan terpedaya dengan sikap egoisme. Bukankah ia sendiri yang menikahkan Nabi
Ibrahim dengan Hajar, pembantunya agar ia mendapatkan keturunan? Ia menyadari
bahwa dirinya wanita tua dan mandul. Ia sendiri yang menikahkannya dan membantu
pelaksanaannya. Ia telah memberikan dan mengabdikan dirinya kepada seorang
lelaki yang hatinya tiada dipenuhi dengan cinta kepada siapa pun kecuali cinta
kepada Penciptanya.
Allah SWT berfirman tentang Sarah dan Hajar:
"Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu,
hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah. (QS. Hud: 73)
Jadi, masalahnya adalah bukan masalah kecemburuan antara
sesama wanita, namun ia adalah tugas yang diperintahkan oleh Allah SWT yang di
dalamnya tersembunyi hikmah-Nya. Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar
ketika Nabi Ibrahim memerintahkannya untuk membawa anaknya Ismail dan
mengikutinya. "Ke mana engkau hai Ibrahim pergi?" Mungkin
pertama-tama Hajar yang bertanya kepadanya dan mungkin juga Sarah yang
bertanya. Nabi Ibrahim hanya terdiam dan akhirnya kedua wanita itu pun juga
terdiam.
Di sana terdapat
hikmah yang tersembunyi di mana Nabi Ibrahim tidak mengetahuinya dan Allah SWT
tidak menjelaskan kepadanya. la tidak mengetahui hai itu sebagaimana mereka
berdua juga tidak mengetahuinya. Jadi kedua-duanya hanya terdiam sebagai bentuk
akhlak dari istri-istri nabi. Inilah Hajar yang sendirian bersama anaknya di
lembah yang terasing dan tandus, di mana ia tidak mengetahui rahasia di balik
tempat itu. Inilah Ismail yang memulai perjalanannya menuju Allah SWT saat
masih menyusui. Ia mengalami ujian saat masih kecil dan juga ujian bagi
ayahnya, di mana ia mendapatkan seorang anak saat sudah tua. Nabi Ibrahim
menyadari bahwa manusia tidak memiliki sesuatu pun dalam dirinya. Dan seseorang
yang cinta kepada Allah SWT akan memberikan dirinya kepada Allah SWT dan akan
memberikan apa yang disukai oleh dirinya kepada Allah SWT tanpa harus diminta. Itu
adalah hukum cinta yang dalam. Kami tidak percaya bahwa Nabi Ibrahim mengetahui
mengapa ia harus meninggalkan Ismail dan ibunya di tempat itu. Kami tidak
mengira bahwa Allah SWT telah memberitahunya. Allah SWT hanya menurunkan
perintah dan Ibrahim hanya menaatinya. Di sinilah tampak kerasnya ujian dan
kesulitannya. Di sinilah cinta yang paling dalam diungkapkan, dan di sinilah
cinta yang murni dituangkan.
Allah SWT menguji kekasih-Nya Ibrahim dengan suatu ujian
yang sangat keras, di mana umumnya para orang tua berat sekali melakukannya. Bukan
berarti bahwa cinta Allah SWT kepada Ibrahim dan cinta Ibrahim kepada-Nya
menjadikan Ibrahim tidak memiliki perasaan kemanusiaan. Kekuatan cintanya pada
Allah SWT justru menjadikan sebagai lautan dari perasaan kemanusiaan, bahkan
lautan yang tidak bertepi. Perasaan beliau terhadap Ismail lebih besar, lebih
lembut, dan lebih sayang dari perasaan ayah mana pun terhadap anaknya. Meskipun
demikian, beliau rela meninggalkannya di tempat yang tandus karena Allah SWT
memerintahkan hal tersebut. Terjadilah pergulatan dalam dirinya namun ia mampu
melewati ujiannya dan beliau memilih cinta Allah SWT daripada cinta anaknya.
Ketika Nabi Ibrahim menampakkan kecintaan yang luar biasa
dari yang seharusnya kepada anaknya, maka Allah SWT memerintahkannya untuk
menyembelihnya. Allah SWT agar hanya Dia yang menjadi pusat cinta para
nabi-Nya. Barangsiapa yang mencintai Allah SWT, maka ia pun harus mencintai
kebenaran dan orang yang mencintai kebenaran adalah orang memenuhi hatinya
dengan cinta kepada Penciptanya semata. Ismail mewarisi kesabaran ayahnya. Nabi
Ibrahim berdoa kepada Allah SWT sebelumnya:
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak)
yang termasuk orang-orang yang saleh" (QS. ash-Shaffat: 100)
Allah SWT menjawab:
"Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak
yang amat sabar." (QS. ash-Shaffat: 101)
Kesabaran yang sama yang terdapat pada ayahnya, kebaikan
yang sama, ketakwaan yang sama, dan adab kenabian yang sama pula. Ismail
mendapatkan ujian yang pertama saat beliau kecil dan ujian itu berakhir saat
Allah SWT memancarkan zamzam dari kedua kakinya sehingga darinya ibunya minum
dan menyusuinya. Kemudian Ismail mendapatkan ujian yang kedua dalam hidupnya
saat ia menginjak masa muda:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!'
Ia menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: Insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'" (QS.
ash-Shaffat: 102)
Apa yang Anda kira terhadap jawaban si anak? Ia tidak
bertanya tentang sifat dari mimpi itu, dan ia tidak berdebat dengan ayahnya
tentang kebenaran mimpi itu, tetapi yang dikatakannya: "Wahai ayahku
laksanakanlah apa yang diperintahkan. "Janganlah engkau gelisah karena aku
dan janganlah engkau menampakkan kesedihan dan keluh-kesah. "Engkau akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Demikianlah jawaban seorang
anak yang saleh terhadap ayahnya yang saleh. Itulah puncak dari kesabaran dari
seorang anak dan tentu orang tuanya lebih harus bersabar. Itu bagaikan
perlombaan di antara keduanya untuk menguji siapa di antara mereka yang paling
sabar. Perlombaan yang tujuannya adalah meraih cinta Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah
Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh
keluarganya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang
yang diridhai di sisi Tuhannya." (QS. Maryam: 54-55)
Baitullah
Ismail hidup di semenanjung Arab sesuai dengan kehendak Allah
SWT. Ismail memelihara kuda dan terhibur dengannya serta memanfaatkannya untuk
keperluannya. Sedangkan air zamzam sangat membantu orang-orang yang tinggal di
daerah itu. Kemudian sebagian kafilah menetap di situ dan sebagian kabilah
tinggal di tempat itu. Nabi Ismail tumbuh menjadi dewasa dan menikah. Lalu
ayahnya, Nabi Ibrahim, mengunjunginya dan tidak menemukannya dalam rumah namun
ia hanya mendapati istrinya. Nabi Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupan
mereka dan keadaan mereka. Istrinya mengadukan padanya tentang kesempitan hidup
dan kesulitannya. Nabi Ibrahim berkata padanya: "Jika datang suamimu, maka
perintahkan padanya untuk mengubah gerbang pintunya."
Ketika Nabi Ismail datang, dan istrinya menceritakan padanya
perihal kedatangan seorang lelaki, Ismail berkata: "Itu adalah ayahku dan
ia memerintahkan aku untuk meninggalkanmu, maka kembalilah engkau pada keluargamu."
Kemudian Nabi Ismail menikahi wanita yang kedua. Nabi Ibrahim mengunjungi istri
keduanya dan bertanya kepadanya tentang keadaannya. Lalu ia menceritakan padanya
bahwa mereka dalam keadaan baik-baik dan dikaruniai nikmat. Nabi Ibrahim puas
terhadap istri ini dan memang ia cocok dengan anaknya. Barangkali Nabi Ibrahim
menggunakan kemampuan spiritualnya dan cahaya yang mampu menyingkap kegaiban
yang dimilikinya. Nabi Ibrahim menyiapkan Ismail untuk mengemban tugas yang
besar. Yaitu tugas yang membutuhkan kerja keras kemanusiaan seluruhnya dan
waktunya seluruhnya serta kenyamanannya seluruhnya.
Ismail menjadi besar dan mencapai kekuatannya. Nabi Ibrahim
mendatanginya. Tibalah saat yang tepat untuk menjelaskan hikmah Allah SWT yang
telah terjadi dari perkara-perkara yang samar. Nabi Ibrahim berkata kepada
Ismail: "Wahai Ismail, sesungguhnya Allah SWT memerintahkan padaku suatu
perintah" ketika datang perintah pada Nabi Ibrahim untuk menyembelihnya,
beliau menjelaskan kepadanya persoalan itu dengan gamblang. Dan sekarang ia
hendak mengemukakan perintah lain yang sama agar ia mendapatkan keyakinan bahwa
Ismail akan membantunya. Kita di hadapan perintah yang lebih penting daripada
penyembelihan. Perintah yang tidak berkenaan dengan pribadi nabi tetapi berkenaan
dengan makhluk.
Ismail berkata: "Laksanakanlah apa yang diperintahkan
Tuhanmu padamu." Nabi Ibrahim berkata: "Apakah engkau akan
membantuku?" Ismail menjawab: "Ya, aku akan membantumu." Nabi
Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan aku untuk membangun
rumah di sini." Nabi Ibrahim mengisyaratkan dengan tangannya dan menunjuk
suatu bukit yang tinggi di sana .
Selesailah pekerjaan itu. Perintah itu telah dilaksanakan
dengan berdirinya Baitullah yang suci. Itu adalah rumah yang pertama kali
dibangun untuk menusia di bumi. Ia adalah rumah pertama yang di dalamnya
manusia menyembah Tuhannya. Dan karena Nabi Adam adalah manusia yang pertama
turun ke bumi, maka keutamaan pembangunannya kembali padanya. Para ulama berkata: "Sesungguhnya Nabi Adam
membangunnya dan ia melakukan thawaf di sekelilingnya seperti para malaikat
yang tawaf di sekitar arsy Allah SWT.
Nabi Adam membangun suatu kemah yang di dalamnya ia
menyembah Allah SWT. Adalah hal yang biasa bagi Nabi Adam— sebagai seorang
Nabi—untuk membangun sebuah rumah untuk menyembah Allah SWT. Tempat itu
dipenuhi dengan rahmat. Kemudian Nabi Adam meninggal dan berlalulah abad demi
abad sehingga rumah itu hilang dan tersembunyi tempatnya. Maka Nabi Ibrahim
mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk membangun kedua kalinya agar rumah
itu tetap berdiri sampai hari kiamat dengan izin Allah SWT. Nabi Ibrahim mulai
membangun Ka'bah. Ka'bah adalah sekumpulan batu yang tidak membahayakan dan
tidak memberikan manfaat. Ia tidak lebih dari sekadar batu. Meskipun demikian,
ia merupakan simbol tauhid Islam dan tempat penyucian kepada Allah SWT. Nabi
Adam memiliki tauhid yang tinggi dan Islam yang mutlak. Nabi Ibrahim pun
termasuk seorang Muslim yang tulus dan ia bukan termasuk seorang musyrik.
Batu-batu rumah itu telah dibangun dari ketenteraman hati
Nabi Adam dan kedamaian Nabi Ibrahim serta cintanya dan kesabaran Nabi Ismail
serta ketulusannya. Oleh karena itu, ketika Anda memasuki Masjidil Haram Anda
akan merasakan suatu gelombang kedamaian yang sangat dalam. Terkadang pada kali
yang pertama engkau melihat dirimu dan tidak melihat rumah dan pemeliharanya. Dan
barangkali engkau melihat rumah pada kali yang kedua namun engkau tidak melihat
dirimu dan Tuhanmu. Ketika engkau pergi ke haji engkau tidak akan melihat
dirimu dan rumah itu yang engkau lihat hanya pemelihara rumah itu. Ini adalah
haji yang hakiki. Inilah hikmah yang pertama dari pembangunan Ka'bah.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina)
dasar-dasar baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami terimalah
dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk dan patuh
kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh
kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah
haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka
seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan
al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. " (QS. al-Baqarah: 127-129)
Ka'bah terdiri dari batu-batuan yang ada di bumi di mana ia
dijadikan pondasi oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Sejarah menceritakan bahwa ia
pernah dihancurkan lebih dari sekali sehingga ia pun beberapa kali dibangun
kembali. Ia tetap berdiri sejak masa Nabi Ibrahim sampai hari ini. Dan ketika
Rasulullah saw diutus —sebagai bukti pengkabulan doa Nabi Ibrahim—beliau
mendapad Ka'bah dibangun terakhir kalinya, dan tenaga yang dicurahkan oleh
orang-orang yang membangunnya sangat terbatas di mana mereka tidak menggali
dasarnya sebagaimana Nabi Ibrahim menggalinya. Dari sini kita memahami bahwa
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail mencurahkan tenaga keras yang tidak dapat
ditandingi oleh ribuan laki-laki. Rasullah saw telah menegaskan bahwa kalau
bukan karena kedekatan kaum dengan masa jahiliyah dan kekhawatiran orang-orang
akan menuduhnya dengan berbagai tuduhan jika beliau menghancurkannya dan
membangunkannya kembali, niscaya beliau ingin merobohkannya dan
mengembalikannya ke pondasi Nabi Ibrahim.
Sungguh kedua nabi yang mulia itu telah mencurahkan tenaga
keras dalam membangunnya. Mereka berdua menggali pondasi karena dalamnya tanah
yang di bumi. Mereka memecahkan batu-batuan dari gunung yang cukup jauh dan
dekat, lalu setelah itu memindahkannya dan meratakannya serta membangunnya. Tentu
hal itu memerlukan tenaga keras dari beberapa pria tetapi mereka berdua
membangunnya bersama-sama. Kita tidak mengetahui berapa banyak waktu yang
digunakan untuk membangun Ka'bah sebagaimana kita tidak mengetahui waktu yang
digunakan untuk membuat perahu Nabi Nuh. Yang penting adalah, bahwa perahu Nabi
Nuh dan Ka'bah sama-sama sebagai tempat perlindungan manusia dan tempat yang
membawa keamanan dan kedamaian. Ka'bah adalah perahu Nabi Nuh yang tetap di
atas bumi selama-lamanya. Ia selalu menunggu orang-orang yang menginginkan
keselamatan dari kedahsyatan angin topan yang selalu mengancam setiap saat.
Allah SWT tidak menceritakan kepada kita tentang waktu
pembangunan Ka'bah. Allah SWT hanya menceritakan perkara yang lebih penting dan
lebih bermanfaat. Dia menceritakan tentang kesucian jiwa orang-orang yang
membangunnya dan doa mereka saat membangunnya:
"Tuhan kami, terimalah dari hand (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. " (QS.
al-Baqarah: 127)
Itulah puncak keikhlasan orang-orang yang ikhlas, ketaatan
orang-orang yang taat, ketakutan orang-orang yang takut, dan kecintaan
orang-orang yang mencintai:
"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang
tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara cucu kami umat yang
tunduk patuh kepada Engkau." (QS. al-Baqarah: 128)
Sesungguhnya kaum Muslim yang paling agung di muka bumi saat
itu, mereka berdoa kepada Allah SWT agar menjadikan mereka termasuk orang-orang
yang berserah diri pada-Nya. Mereka mengetahui bahwa hati manusia terletak
sangat dekat dengan ar-Rahman (Allah SWT). Mereka tidak akan mampu menghindari
tipu daya Allah SWT. Olah karena itu, mereka menampakkan kemurnian ibadah hanya
kepada Allah SWT, dan mereka membangun rumah Allah SWT serta meminta pada-Nya agar
menerima pekerjaan mereka.
Selanjutnya, mereka meminta Islam (penyerahan diri) pada-Nya
dan rahmat yang turun pada mereka di mana mereka memohon kepada Allah SWT agar
memberi mereka keturunan dari umat Islam. Mereka ingin agar jumlah orang-orang
yang beribadah dan orang-orang yang sujud dan rukuk semakin banyak. Sesungguhnya
doa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menyingkap isi had seorang mukmin. Mereka
membangun rumah Allah SWT dan pada saat yang sama mereka disibukkan dengan
urusan akidah (keyakinan). Itu mengisyaratkan bahwa rumah itu sebagai simbol
dari akidah.
"Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan
tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS.
al-Baqarah: 128)
Perlihatkanlah kepada kami cara ibadah yang Engkau sukai. Perlihatkanlah
kepada kami bagaimana kami menyembah-Mu di bumi. Dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. Setelah itu,
kepedulian mereka melampaui masa yang mereka hidup di dalamnya. Mereka berdoa
kepada Allah SWT:
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari
kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta
menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. " (QS. al-Baqarah: 129)
Akhirnya, doa tersebut terkabul ketika Allah SWT mengutus
Muhammad bin Abdillah saw. Doa tersebut terwujud setelah melalui masa demi masa.
Selesailah pembangunan Ka'bah dan Nabi Ibrahim menginginkan batu yang istimewa
yang akan menjadi tanda khusus di mana tawaf di sekitar Ka'bah akan dimulai
darinya. Ismail telah mencurahkan tenaga di atas kemampuan manusia biasa.
Beliau bekerja dengan sangat antusias sebagai wujud ketaatan terhadap perintah
ayahnya. Ketika beliau kembali, Nabi Ibrahim telah meletakkan Hajar Aswad di
tempatnya. "Siapakah yang mendatangkannya (batu) padamu wahai
ayahku?" Nabi Ibrahim berkata: "Jibril as yang mendatangkannya."
Selesailah pembangunan Ka'bah dan orang- orang yang mengesakan Allah SWT serta
orang-orang Muslim mulai bertawaf di sekitarnya. Nabi Ibrahim berdiri dalam
keadaan berdoa kepada Tuhannya sama dengan doa yang dibacanya sebelumnya, yaitu
agar Allah SWT menjadikan had manusia cenderung pada tempat itu:
"Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka. "(QS. Ibrahim: 37)
Karena pengaruh doa tersebut, kaum Muslim merasakan
kecintaan yang dalam untuk mengunjungi Baitul Haram. Setiap orang yang mengunjungi
Masjidil Haram dan kembali ke negerinya ia akan merasakan kerinduan pada tempat
itu. Semakin jauh ia, semakin meningkat kerinduannya padanya. Kemudian,
datanglah musim haji pada setiap tahun, maka hati yang penuh dengan cinta pada
Baitullah akan segera melihatnya dan rasa hausnya terhadap sumur zamzam akan
segera terpuaskan. Dan yang lebih penting dari semua itu adalah cinta yang
dalam terhadap Tuhan, Baitullah dan sumur zamzam yaitu, Tuhan alam semesta. Allah
SWT berfirman berkenaan dengan orang-orang yang mendebat Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail:
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang
Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada
Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. "
(QS. Ali 'Imran: 67)
Allah SWT mengabulkan doa Nabi Ibrahim dan beliau yang
pertama kali menamakan kita sebagai orang-orang Muslim. Allah SWT berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai
kamu sekalian orang-orang Muslim dan dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
sekian kisah Nabi Ismail AS semoga
bermanfaat.