kisah Nabi Syu'aib AS pada zaman rasul,Banyak orang di
zaman kita beranggapan bahwa agama hanya merupakan program-program yang kosong
dan nilai-nilai akhlak semata. Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada
hakikatnya, agama adalah sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah
hubungan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, usaha memisahkan antara
problem-problem tauhid dan perilaku manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari
berarti memisahkan agama dari kehidupan dan mengubahnya menjadi adat-istiadat,
tradis-tradisi, dan acara-acara ritual yang hampa. Kisah Nabi Syu'aib
menampakkan hal yang demikian secara jelas.
Allah SWT mengutus Syu'aib pada penduduk Madyan:
"Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara
mereka, Syu 'aib. Ia berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada
Tuhan bagimu selain Dia.'" (QS. Hud: 84)
Ini adalah dakwah yang sama yang diserukan oleh setiap nabi.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan
antara satu nabi dan nabi yang lain. Ia merupakan dasar akidah dan tanpa dasar
ini mustahil suatu bangunan akan berdiri. Setelah peletakan bangunan tersebut,
Syu'aib mulai menyuarakan dakwahnya:
"Dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu
dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan
azab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS. Hud: 84)
Setelah
menjelaskan masalah tauhid secara langsung, Nabi Syu'aib berpindah pada masalah
muamalah sehari-hari yang berkenaan dengan kejujuran dan keadilan. Adalah hal
yang terkenal pada penduduk Madyan bahwa mereka mengurangi timbangan dan mereka
tidak memberikan hak-hak manusia. Ini adalah suatu kehinaan yang menyentuh
kesucian hati dan tangan sebagaimana menyentuh kesempurnaan harga diri dan
kemuliaan.
Para penduduk
Madyan beranggapan bahwa mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk
kelihaian dan kepandaian dalam jual-beli serta bentuk kelicikan dalam mengambil
dan membeli. Kemudian nabi mereka datang dan mengingatkan bahwa hal tersebut
merupakan hal yang hina dan termasuk pencurian. Nabi Syu'aib memberitahukan
kepada mereka bahwa beliau khawatir jika mereka meneruskan perbuatan keji itu
niscaya akan turun kepada mereka azab di mana manusia tidak akan dapat
menghindar dari siksaan itu. Perhatikanlah bagaimana campur tangan Islam
melalui Nabi Syu'aib yang diutus kepada manusia di mana ia memperhatikan
persoalan jual-beli dan mengawasinya:
"Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Hud: 85)
Nabi Syu'aib
meneruskan misi dakwahnya. Beliau mengulang-ulangi nasihatnya kepada mereka
dengan cara yang baik dan mengajak ke jalan yang baik, tidak ke jalan yang
buruk; beliau menghimbau kepada mereka untuk menegakkan timbangan dengan
keadilan dan kebenaran dan mengingatkan mereka agar jangan merampas hak-hak
orang lain. Merampas hak-hak orang lain itu tidak terbatas pada jual-beli saja,
namun juga berhubungan dengan perbuatan-perbuatan lainnya; beliau memerintahkan
mereka untuk menegakkan timbangan keadilan dan kejujuran. Demikianlah seruan
dari agama tauhid dan akidah tauhid di mana ia selalu menyuarakan kejujuran dan
keadilan.
Agama selalu
memerintahkan manusia untuk menjalin kerjasama sesama mereka dalam kehidupan
sehari-hari dengan cara-cara yang bijaksana dan baik, baik menyangkut hubungan
kerja, hubungan pribadi maupun hubungan lainnya. Al-Qur'an al-Karim mengatakan:
"Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka. "Dan
kata as-Syai' (sesuatu) dalam ayat tersebut diucapkan kepada hal-hal yang
bersifat materi dan yang bersifat non-materi (rohani) di mana masuk dalam
katagori itu perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan yang menghasilkan. Al-Qur'an
melarang segala bentuk kelaliman, baik kelaliman berkenaan dengan menimbang
buah-buahan atau sayur-sayuran maupun kelaliman dalam bentuk tidak memberikan
penghargaan terhadap usaha manusia dan pekerjaan mereka. Sebab, kelaliman
terhadap manusia akan menciptakan suasana ketidakharmonisan yang berakibat pada
timbulnya penderitaan, sikap putus asa, dan sikap tidak peduli, sehingga pada
akhirnya hubungan sesama manusia berjalan tidak harmonis dan menimbulkan
kegoncangan dalam kehidupan. Oleh katrena itu, Al-Qur'an mengingatkan agar
jangan sampai ada manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi:
"Dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa
(keuntungan) dart Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang
beriman. Dan aku bukanlah seorangpenjaga atas dirimu." (QS. Hud: 85-86)
Yang dimaksud
al-'Atsu ialah sengaja membuat kerusakan dan bertujuan untuk membuat kerusakan.
Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi; janganlah kalian sengaja untuk
menciptakan keonaran di muka bumi. Apa yang ada di sisi Allah SWT adalah hal
yang terbaik buat kalian jika kalian benar-benar beriman. Kemudian Nabi
Syu'aib memberitahu kepada mereka bahwa ia tidak memiki sesuatu kepada mereka;
ia tidak dapat menguasai mereka tidak juga ia selalu mengawasi mereka. Beliau
hanya sekadar seorang rasul atau utusan untuk menyampaikan ajaran Tuhannya:
"Dan aku
bukanlah seorang penjaga atas dirimu. " (QS. Hud: 86)
Dengan cara yang
demikian, Nabi Syu'aib menjelaskan kaumnya bahwa masalah yang mereka hadapi
saat ini sangat penting dan sangat serius, bahkan sangat berat. Beliau
memberitahu mereka akibat yang bakal mereka terima jika mereka membuat
kerusakan. Selesailah bagian pertama dari dialog Nabi Syu'aib bersama kaumnya.
Nabi Syu'aib telah mengawali pembicaraan dan kaumnya mendengarkan. Kemudian
beliau berhenti dari pembicaraannya dan sekarang kaum membuka pembicaraan:
"Mereka
berkata: 'Hai Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa
yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang hand berbuat apa yang kami
kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat
penyantun lagi berakal " (QS. Hud: 87)
Para penduduk
Madyan yang kafir mereka biasa merampok dan menyembah al-Aikah, yaitu pohon
dari al-Aik yang dikelilingi oleh dahan-dahan yang berputar di sekelilingnya. Mereka
termasuk orang-orang yang menjalin hubungan sesama manusia dengan cara-cara
yang sangat keji. Mereka suka mengurangi timbangan; mereka mengambil yang lebih
darinya dan tidak menghiraukan kekurangannya. Perhatikanlah semua itu dalam
dialog mereka bersama Syu'aib. Mereka berkata, "wahai Syu'aib apakah
agamamu yang memerintahkanmu...?" Seakan-akan agama ini mendorong Syu'aib
dan membisikinya serta memerintahnya sehingga ia menaati tanpa pertimbangan dan
pemikiran. Sungguh Syu'aib telah berubah dengan agamanya itu menjadi alat yang
bergerak dan alat yang tidak sadar. Demikianlah celaaan dan tuduhan keji yang
dialamatkan oleh kaum Nabi Syu'aib kepadanya. Agama Syu'aib telah membuatnya
gila dan membuatnya nekat untuk memerintahkan mereka meninggalkan apa yang
selama ini mereka sembah dan disembah oleh kakek-kakek mereka. Kakek-kakek
mereka telah menyembah tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan sementara agama
Syu'aib memerintahkan mereka untuk hanya menyembah Allah SWT. Kenekatan model
apa dari Syu'aib ini?
Dengan ejekan dan
penghinaan ini, Nabi Syu'aib menghadapi dialog yang terjadi dengan mereka. Kemudian
mereka kembali bertanya-tanya dengan penuh keheranan dan dengan nada mengejek:
"Apakah agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami." Tidakkah engkau sadar wahai Syu'aib bahwa agamamu
ingin mencampuri keinginan kita dan cara kita menggunakan harta kita? Apakah
hubungan keimanan dan salat dengan muamalah materi?
Dengan pertanyaan
ini, kaum Nabi Syu'aib mengira bahwa mereka mencapai suatu tingkat kecerdasan. Mereka
mengemukakan di hadapannya problem keimanan, dan mereka mengingkari adanya
keterkaitan antara perilaku manusia dan muamalah mereka serta perekonomian
mereka. Ini adalah masalah yang klasik; ini adalah usaha untuk memisahkan
antara ekonomi dan Islam di mana setiap nabi justru di utus untuknya meskipun
nama-nama mereka berbeda-beda; ini adalah masalah kuno yang diungkap oleh kaum
Nabi Syu'aib di mana mereka mengingkari bahwa agama turut campur dalam
kehidupan sehari-hari mereka, perekonomian mereka dan cara mereka menggunakan
harta mereka. Mereka menganggap bahwa menginfakkan harta atau menggunakannya
atau menghambur-hamburkannya adalah suatu yang tidak berhubungan dengan agama. Hal
itu menyangkut kebebasan pribadi manusia. Bukankah itu hartanya yang khusus
lalu mengapa agama turut campur di dalamnya?
Demikianlah
pemahaman kaum Nabi Syu'aib kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Syu'aib. Kami
kira pemahaman demikian sedikit atau banyak tidak berbeda dengan pemahaman
banyak masyarakat di zaman kita sekarang mereka menganggap bahwasannya Islam
tidak memiliki kaitan dengan kehidupan pribadi manusia dan kehidupan
perekonomian mereka. Oleh karena itu, manusia dapat menggunakan harta mereka
sesuai dengan kemauan mereka: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat
penyantun lagi berakal."
Mereka ingin
mengatakan kepada Nabi Syu'aib, seandainya engkau seorang yang bijaksana dan
memiliki pemikiran yang matang niscaya engkau tidak akan mengatakan apa yang
telah engkau katakan. Mereka kembali mengejek Nabi Syu'aib dan
merendahkan dakwahnya. Seandainya Anda bertanya kepada kaum Nabi Syu'aib
tentang pemahaman agama mereka maka mereka pasti mengingkari bahwa agama adalah
sebagai sistem dalam kehidupan yang menjadikan hidup lebih mulia, lebih suci,
lebih adil dan lebih pantas manusia untuk menjabat sebagai khalifatullah di
muka bumi; seandainya Anda bertanya kepada mereka tentang agama niscaya mereka
memberitahumu bahwa ia hanya berupa kumpulan nilai-nilai rohani yang baik yang
tidak mewarnai kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman seperti ini, agama hanya
sekadar hiasan. Ini adalah pemahaman yang menggelikan karena Allah SWT mengutus
para nabi dan ajaran-ajaran yang mereka bawa bukan untuk perhiasan dan
main-mainan. Maha Suci Allah SWT dari semua itu. Allah SWT mengutus para
nabi-Nya dengan membawa sistem baru dalam kehidupan, yaitu sistem yang mencakup
nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran yang itu semua tidak akan bermakna jika
tidak berubah menjadi suatu sistem dalam kehidupan secara umum dan mengatur
kehidupan secara khusus. Dengan pemahaman seperti inilah agama menjadi mulai
dan agama menjadi benar adanya. Dan dengan asumsi seperti ini, kita memahami
seberapa jauh campur tangan agama dalam persoalan-persoalan kehidupan
sehari-hari: dimulai dari hubungan-hubungan cinta sampai undang-undang
perkawinan, bahkan cara mengambil keputusan hidup sampai sistem dalam
menginfakkan uang dan menggunakannya, juga sistem dalam cara menggunakan dan mendistribusikan
kekayaan dan sebagainya. Jika manusia memahami agama seperti ini makajadilah
agama sesuatu kebenaran. Dan kalau tidak, agama laksana puing-puing saja.
Nabi Syu'aib
mengetahui bahwa kaumnya mengejeknya karena mereka menganggap agama tidak turut
campur dalam kehidupan sehari-hari. Namun, beliau menghadapi semua itu dengan
penuh kelembutan dan kasih sayang karena beliau yakin apa yang beliau bawa
adalah kebenaran. Beliau tidak peduli dengan ejekan mereka dan tidak
tersinggung dengannya dan tidak mempersoalkan hal itu; beliau memberi
pengertian kepada mereka bahwa beliau berada di atas kebenaran dari Tuhannya;
beliau adalah seorang nabi yang mengetahui kebenaran; beliau tidak melarang
mereka untuk meninggalkan sesuatu yang di balik larangan itu mendatangkan
keuntungan pribadi buatnya; beliau tidak ingin menasihati mereka dalam
kejujuran agar pasar menjadi sepi dan karenanya beliau mengambil manfaat;
beliau hanya sekadar seorang nabi di mana dakwah setiap nabi tergambar dalam
ungkapan yang singkat:
"Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. "
(QS. Hud: 88)
Yang beliau
inginkan hanya al-Islah (usaha membuat perbaikan). Demikanlah kandungan dan
inti dakwah para nabi yang sebenarnya. Mereka adalah al-Muslihun, yaitu
orang-orang yang membuat perbaikan; mereka memperbaiki akal, memperbaiki hati
dan memperbaiki kehidupan yang umum dan kehidupan yang khusus:
"Syu'aib
berkata: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranku jika aku mempunyai bukti yang nyata
dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku
menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan
mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah bertawakal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.'" (QS. Hud: 88)
Setelah Nabi
Syu'aib menjelaskan tujuan-tujuannya kepada mereka dan menyingkapkan kebenaran
dakwahnya, beliau mulai mengotak-atik akal-akal rnereka; beliau mengungkapkan
kepada mereka bagaimana pergulatan orang-orang sebelum mereka dengan para nabi
sebelumnya, yaitu kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Saleh, dan kaum Nabi
Luth yang masa mereka ddak jauh dengan masa Nabi Syu'aib. Beliau mulai
berdialog dengan mereka dan mengingatkan mereka bahwa sikap penentangan mereka
justru akan mendatangkan siksaan bagi mereka. Nabi Syu'aib mengingatkan mereka
bagaimana nasib orang-orang yang mendustakan kebenaran:
"Hai kaumku,
janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu
menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpah kaum Nuh atau kaum
Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan
mohonlah ampun dari Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesungguhnya
Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. " (QS. Hud: 89-90)
Usai Nabi Syu'aib
berdakwah kepada Allah SWT dan menjelaskan al-ishlah (usaha memperbaiki
masyarakat) dan mengingatkan mereka bahaya penentangan serta menakut-nakuti
mereka dengan menceritakan kembali siksaan yang diterima orang-orang yang
berbohong sebelum mereka. Meskipun demikian, Nabi Syu'aib tetap membukakan
pintu pengampunan dan pintu taubat bagi mereka. Beliau menunjukkan kepada
mereka kasih sayang Tuhannya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Namun
kaum Nabi Syu'aib memilih azab. Kekerasan hati mereka dan keinginan mereka
untuk mendapatkan harta yang haram serta rasa puas dengan sistem yang mengatur
mereka, semua itu menyebabkan mereka menolak kebenaran:
"Mereka berkata: 'Hai Syu'aib, kami tidak banyak
mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.'" (QS. Hud: 91)
Kami tidak memahamimu. Engkau adalah seorang yang mengacau;
engkau mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti:
"Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang
yang lemah di antara kami." (QS. Hud: 91)
Beliau dikatakan sebagai orang yang lemah karena orang-orang
fakir dan orang-orang yang rrienderita adalah orang-orang yang beriman padanya,
sedangkan orang-orang kaya dan para pembesar telah menentang mereka.
Demikianlah pertimbangan umumnya manusia yang tidak memiliki kekuatan cukup
untuk menghadapi kebenaran dakwah Nabi Syu'aib di mana beliau dianggap sebagai
orang yang lemah:
"Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami akan
merajammu."(QS. Hud: 91)
Seandainya kalau bukan karena keluargamu dan kaummu dan
orang-orang yang mengikutimu niscaya kami akan menggali suatu lubang dan kami
akan bunuh kamu dilubang itu dengan cara melempari kamu dengan batu:
"Sedang kamu pun bukanlah seorangyang berwibawa di sisi
kami." (QS. Hud: 92)
Kaum Nabi Syu'aib berpindah dari cara mengejek pada cara
menyerang. Nabi Syu'aib telah menyampaikan bukti kepada mereka setelah mereka
mengejeknya, lalu mereka mengubah cara mereka berdialog. Mereka memberitahunya
bahwa mereka tidak memahami apa yang beliau katakan dan mereka melihat bahwa
Nabi Syu'aib sebagai orang yang lemah dan hina. Dan seandainya kalau bukan
karena mereka takut (kasihan) kepada keluarganya niscaya mereka akan
membunuhnya. Mereka menampakkan kebencian kepada Nabi Syu'aib dan ingin sekali
untuk membunuhnya kalau bukan karena alasan-alasan yang berhubungan dengan
keluarganya. Menghadapi ancaman itu, Nabi Syu'aib tetap menunjukkan sikap
lembutnya lalu beliau bertanya kepada mereka dengan maksud untuk menggugah
kesekian kalinya akal mereka:
"Syu 'aib menjawab: 'Hai kaumku, apakah keluargaku
lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah. " (QS. Hud: 92)
Apakah cukup rasional jika mereka membayangkan hal tersebut?
Mereka melupakan hakikat kekuatan yang mengatur alam. Sesungguhnya hanya Allah
SWT Yang Maha Mulia dan Maha Kuat. Seharusnya mereka mengingat hal itu;
seharusnya seseorang tidak takut kepada apapun selain Allah SWT dan tidak
membandingkan kekuatan di alam wujud ini dengan kekuatan Allah SWT. Hanya Allah
SWT Yang Kuat dan hanya Dia yang mengatur hamba-hamba-Nya.
Tampak bahwa kaum Nabi Syu'aib mulai kesal dan semakin kesal
dengannya, lalu berkumpullah para pembesar kaumnya:
"Pemuka-pemuka dari kaum Syu 'aib yang menyombongkan
diri berkata: 'Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan dengan
orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada
agama kami.'" (QS. al-A'raf: 88)
Mereka menggunakan tahap baru dengan cara mengancam Nabi
Syu'aib; mereka mengancamnya untuk membunuh dan mengusir dari desa mereka;
mereka memberi pilihan kepada Nabi Syu'aib antara terusir dan kembali kepada
agama mereka yang menyembah pohon-pohon dan benda-benda mati. Nabi Syu'aib
memberitahu kepada mereka bahwa masalah kembalinya ia ke agama mereka adalah
masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah yang disebutkan dalam
perjanjian. Sungguh Allah SWT telah menyelamatkan beliau dari agama mereka lalu
bagaimana beliau kembali lagi padanya? Beliau yang mengajak mereka pada agama
tauhid lalu bagaimana beliau mengajak mereka untuk kembali pada kesyirikan dan
kekufuran? Beliau mengajak mereka dengan cara yang lembut dan kasih sayang
sementara mereka mengancamnya dengan kekuatan.
Demikianlah pertentangan antara Nabi Syu'aib dan kaumnya
semakin berlanjut. Nabi Syu'aib memegang amanat dakwah untuk menghadapi para
pembesar, para pendusta, dan para penguasa kaumnya. Akhirnya, Nabi Syu'aib
mulai mengetahui bahwa mereka tidak lagi memiliki harapan karena mereka telah
berpaling dari Allah SWT:
"Sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di
belakangmu? Sesungguhnya pengetahuan Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan.
Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya
aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab
yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan).
Sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu." (QS. Hud: 92-93)
Nabi Syu'aib berlepas diri dari mereka. Mereka telah
berpaling dari agama Allah SWT bahkan telah mendustakan nabi-Nya dan menuduhnya
bahwa ia tersihir dan seorang pembohong. Maka, setiap orang hendaklah melakukan
apa saja yang diinginkannya dan hendaklah mereka menunggu azab Allah SWT. Kemudian
pergulatan antara Nabi Syu'aib dan kaumnya berakhir adanya fase baru. Mereka
meminta kepada Nabi Syu'aib untuk mendatangkan azab dari langit jika beliau
termasuk orang-orang yang benar. Dengan nada mencibir dan menantang, mereka
berkata: "di mana azab itu, di mana siksaan yang dijanjikan itu? Mengapa
terlambat datang?"
Mereka mengejek Nabi Syu'aib dan beliau dengan tenang
menunggu datangnya azab Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada beliau agar
keluar bersama orang-orang mukmin dari desa tersebut. Akhirnya, Nabi Syu'aib
keluar bersama para pengikutnya dan datanglah azab Allah SWT:
"Dan takkala datang azab Kami. Kami selamatkan Syu'aib
dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari kami,
dan orang-orang lalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah
mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam
di tempat itu. Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum
Tsamud telah binasa." (QS. Hud: 94-95)
Ia adalah teriakan sekali saja satu suara yang datang kepada
mereka dari celah-celah awan yang menyelimuti. Mula-mula mereka barangkali
bergembira karena membayangkan itu akan membawa hujan tetapi mereka dikagetkan
ketika datang kepada mereka siksaan yang besar pada hari yang besar.
Selesailah masalah ini. Mereka menyadari bahwa teriakan itu
membawa bencana buat mereka; teriakan itu menghanguskan setiap makhluk yang ada
di dalam negeri itu. Mereka tidak mampu bergerak dan tidak mampu menyembunyikan
diri dan tidak pula mereka dapat menyelamatkan diri mereka.
demikian kisah Nabi Syu'aib AS semoga bermanfaat.