Makna Laa Ilaha Illallah ~ Putra Gantiwarno
Selamat datang, terima kasih atas kunjungannya. Salam perdamaian

Makna Laa Ilaha Illallah

Oleh : Ustadz Luqman Jamal (http://an-nashihah.com/)
Tidak ada keraguan bahwa kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah adalah kalimat yang paling agung, rukun pertama dalam Islam, penentu selamat atau meruginya seorang hamba di akhirat, dasar iman serta asas dakwah dari seluruh Nabi dan Rasul, sebagaimana dalam firman Allah :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thagut (segala yang disembah selain Allah)”. (QS. An-Nahl : 16/36).
Dan kalimat inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan orang kafir. Oleh karena itu seorang muslim wajib mengetahui makna yang benar dari kalimat ini agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang bisa mengurangi nilai syahadatnya bahkan bisa membatalkannya.
Makna Laa Ilaaha Illallah
Secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :
Laa adalah nafiyah lil jins (Menafikan jenis secara nash) yaitu Laa yang meniadakan jenis kata benda yang datang setelahnya, misalnya : Laa rajula fil bait (tidak ada seorang lelaki pun di dalam rumah). Rajula adalah kata benda untuk jenis laki-laki, dalam contoh di atas kata rajula ini terletak setelah laa nafiyah lil jins maka maknanya adalah “tidak ada seorang pun dari jenis laki-laki berada di dalam rumah”.
Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) yakni bermakna ma`luhartinya ma’bud (yang diibadahi) sebagaimana penafsiran Ibnu ‘Abbas terhadap ayat 127 dalam surah Al-A’raf :
وَقَالَ الْمَلأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَ تَذَرُ مُوْسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوْا فِيْ الْأََرْضِ وَيَذَرَكَ وَءَالِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِيْ نِسَآءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُوْن َ
"Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) : “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membut kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilah-ilahmu?”, Fir’aun menjawab : ”Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”. (QS. Al-A’raf : 7/127).
Alihataka (ilah-ilahmu) yaitu ibadah kepadamu karena Fir’aun itu disembah dan tidak mau menyembah.
Lihat : Tafsir Ibnu Jarir.
Dan dalam syair dari Ru`bah Ibnul ‘Ujaj
لِلَّهِ دَرُّ الغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي
“Betapa hebatnya para wanita kaya yang cerdik mereka bertasbih dan membaca istirjamelihat Ta`alluhi (pengilahanku)”.
Sisi pendalilan dari syair ini adalah kata Ta`alluhi(pengil ahanku) yakni penyembahanku dan permintaanku kepada Allah dari amalanku.
Lihat : Fathul Majid hal.19.
Illa (kecuali). Pengecualian disini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang dinafikan oleh laa. Artinya bahwa hanya lafadzjalalah “Allah” yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa.
Allah asalnya Al-Ilah dibuang hamzahnya kemudian lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.
Allah (lafadz jalalah). Kata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-S alikin 1/18 : “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan…”.
Lafadz jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah tersebut. Karena itulah tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan Allah.
Kemudian Laa ini masuk ke dalam mubtada dan khobar, yaitu masuk pada jumlah ismiah, mubtada menjadi isim laa dan khobar mubtada menjadi khobarnya, sedangkan pada kalimat Laa Ilaaha Illallah yang ada hanya mubtadanya saja yaitu ilah yang asalnya Al-Ilah kemudian dibuang Al-nya karena seringnya dipakai sementara khobarnya ternyata tidak ada, maka berarti khobarnya (dibuang) maka kita perlu mencari khobarnya untuk memahami maknanya dengan benar .
Maka para ulama salaf mentaqdirkan bahwa yang dibuang tersebut adalah haqqun dengan dalil firman Allah dalam surah Luqman ayat 30 :
ذَلِكَبِأَنَّاللهَهُوَالحَقُّوَأَنَّمَايَدْعُوْنَمِنْدُوْنِهِالبَاطِلُوَأَنََّاللهَهُوَالعَلِيُّالكَبِيْرُ
“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak dan apa saja yang mereka sembah selain Allah adalah batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Luqman : 31/30).
Sedangkan lafadz jalalah ( الله ) hanya badal dari ilah bukan khobar laa
Maka dari penjelasan tadi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah.
لا = Huruf nafi lil jins masuk pada mubtada’ dan khobar artinya Tidak ada
إله = Mubtada’ yang berubah menjadi isimnya Laa artinya yang disembah
إلا = Khobar mubtada’ yang dibuang yang berubah menjadi khobarnya Laa taqdirnya haqqun (yang benar)
الله = Yang di perkecualikan dari hukum sebelumnya yaitu penafian seluruh ilahi
Makna Laa Ilaaha Illallah menurut para ulama salaf
Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Isim “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)… hendaknya kamu tahu bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada th agh ut dan beriman kepada Allah. Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan ditetapkan kewajiban penyembahan itu kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.
Berkata Imam Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk nama-nama jenis seperti Ar-Rajul (seorang lelaki) dan Al Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah pada segala yang disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah itu umum digunakan kepada yang disembah yang benar”.
Berkata Imam Ibnul Qayyim : “Al-Ilah adalah yang Dialah yang disembah oleh hati-hati (manusia) dengan penuh kecintaan, pengagungan, kembali padanya, pemuliaan, pengagungan, penghinaan diri, rasa tunduk, rasa takut, harapan dan tawakkal (pada-Nya).”
Berkata Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.
Berkata Al-Imam Al-Baqo`i : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar dari menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah peringatan yang paling besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu jika bemanfaat dan menjadi bermanfaat jika disertai dengan ketundukan dan beramal dengan ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan semata”.
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka. Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai akhirnya”. Wallahu A’lam .
Lihat : Fathul Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut :
Pertama : An-Nafyu (penafian) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu menafikan seluruh yang disembah apapun jenisnya dan bentuknya dari makhluk, baik yang hidup apalagi yang mati walaupun malaikat yang dekat dengan Allah bahkan Rasul yang diutus sekalipun.
Kedua : Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain dari ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya dan perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana seperti orang yang meyakini Allah itu berhak disembah tetapi juga menyambah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah. Dan dua rukun ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan itulah inti dari semua dakwah Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah di antaranya :
وَ مَا أَرْسَلْنَاَ مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لآَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 21/25).  
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطاَّغُوْتِ وَيُؤْمِنْ باِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ باِلْعُرْوَةِ الْوُثْقاَ لاَ انفِصاَمَ لَهـاَ

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah : 2/256).
Kalimat yang agung “Laa Ilaaha Illallah“ tidaklah bermanfaat untuk orang yang mengucapkannya, tidak bisa mengeluarkan dia dari lingkaran kesyirikan, kecuali jika ia mengerti artinya, mengamalkannya serta mempercayainya. Sungguh orang-orang munafiq mengucapkannya, tapi (meskipun demikian ) mereka berada dilapisan terbawah dari neraka karena mereka tidak beriman dengannya dan tidak pula mengamalkannya. Demikian pula yahudi mereka mengucapkannya tapi mereka adalah manusia yang kafir karena tidak mengimaninya . demikian pula para penyembah kuburan dan para wali dari orang-orang kafir ummat ini, mereka mengucapkannya akan tetapi mereka menyalahinya dengan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan aqidah mereka yang menyimpang. Kalimat Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat buat mereka dan tidak menjadikan mereka orang-orang islam karena mereka menyalahinya dengan ucapan, perbuatan dan keyakinan mereka . sebagian ulama menyebutkan syarat-syarat Laa Ilaaha Illallaah ada 8, yaitu : Ilmu, keyakinan, ikhlash, jujur, cinta, taat terhadap kandungannya, menerima kandungannya, pengingkaran terhadap apa yang disembah selain Allah, yang tergabung dalam dua bait syair (berikut ini ) :

عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعْ مَحَبَّةِ وَاِنْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلُ لَهَا
وَزِيْدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
 Ilmu, keyakinan dan ikhlash serta kejujuranmu
bersama cinta dan ta’at serta menerimanya.
Ditambah (syarat) yang kedelapan (adalah)
pengingkaranmu terhadap sesuatu
selain dari Allah yang telah disembah

Makna-makna yang salah dari makna Laa Ilaaha Illallah
  •   Tidak ada yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau diperhatikan maka akan didapati kesalahan pada beberapa sisi. Di antaranya, mereka mengartikan ilah di sini sebagai “yang ada”, sementara yang benar adalah yang “diibadahi”, dan juga makna ini menunjukkan bahwa semua yang ada adalah Allah maka ini adalah kebatilan yang paling batil sebab lebih kafir dan lebih musyrik dari orang-orang Yahudi dan Nashoro karena Tuhan mereka hanya dua atau tiga sementara orang-orang yang menyatakan seperti ini Tuhannya sangat banyak dan tidak terbatas padahal masih menganggap dirinya orang Islam.
Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ada di antara pemimpin pergerakan Islam yang mengartikan seperti ini, bagaimana nasibnya Islam dan kaum muslimin, kalau yang dianggap pemimpin dalam memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah saja keliru padahal kalimat ini yang merupakan asas iman dan asas dakwah maka betapa banyak orang yang tersesat karenanya. Perlu diketahui bahwa makna sesat ini telah dinyatakan oleh para Ahlul bid’ah sejak ratusan tahun yang lalu dan alhamdulillah para ulama telah menjelaskan hal ini dalam kitab-kitab mereka. Lihat Kitabul Istighotsah yang dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
  • Tidak ada pencipta kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau kita perhatikan maka maknanya benar tetapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah. Sebab ilah maknanya “yang diibadahi” bukan bermakna pencipta. Betapa banyak yang mengartikan seperti ini tetapi tidak mau beribadah kepada Allah sebab belum tentu orang yang meyakini hal ini beribadah kepada Allah saja seperti orang-orang musyrik, orang-orang kafir, Ahlul Kitab bahkan sebagian dari kaum muslimin sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman : 25
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلّ‍‍َهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah”. Katakanlah : “Segala puji bagi Allah” ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqman : 31/25).
Demikianlah kaum musyrikin mengetahui hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tapi bersamaan dengan itu mereka belum dianggap sebagai seorang muslim bahkan terus menerus mereka diperangi oleh Rasulullah .
  • Tidak ada hakim kecuali Allah. (ARAB)
Kalimat ini juga maknanya benar, tapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah .Sebab ilah sebagaimana yang terdahulu bukan bermakna hakim tetapi maknanya yang diibadahi. Dan makna ini sering dilontarkan oleh orang-orang yang mau menegakkan syariat Islam (menurut mereka) dan mengkafirkan secara mutlak orang-orang yang menurut mereka tidak mau berhukum dengan hukum Allah .
Sedangkan hukum Allah yang paling agung adalah tauhid lalu bagaimana dengan orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah atau syariat Islam sementara perkara yang paling pokok tidak diperhatikan bahkan kadang disepelekan dan menganggap orang-orang yang mendakwahkan dakwah tauhid adalah pemecah belah umat, tidak tahu keadaan, kuno dan berbagai macam julukan yang lain. Wallahul Musta’an .
Lihat kitab Makna Laa Ilaaha Illallah yang dikarang oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan.
  • Tidak ada yang disembah yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna dan tafsiran ini umumnya dikemukakan oleh sebagian ahli bahasa (dalam kitab-kitab bahasa) yang tidak memahami secara benar makna Laa Ilaaha Illallah. Mereka mendahulukan sisi bahasa semata-mata tanpa memperdulikan sisi syariatnya. Makna ini muncul karena mereka mentakdirkan khobar yang dibuang maujudun atau kainun yang berarti ada, padahal takdir yang benar adalah haqqun sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kemudian dari sisi yang lain, tafsiran ini salah karena kenyataannya ada orang-orang di dunia ini yang menyembah sesembahan lain selain Allah seperti sapi, jin, patung-patung dan lain-lain. Maka tidaklah benar kalau dikatakan yang disembah manusia hanyalah Allah saja. Karena banyak sesembahan yang lain bahkan tak terbatas. Tetapi kita mengatakan tidak ada sesembahan yang benar (haqqun) yang disembah oleh manusia kecuali Allah saja. Artinya penyembahan orang-orang kepada sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah adalah tidak benar/batil.
  • Tidak ada yang mampu untuk mengadakan sesuatu kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini umumnya dimaknakan oleh orang-orang sufi, filsafat dan ahlul kalam, bahkan mereka menyangka itulah puncak tauhid. Makna ini benar dari sisi makna, tetapi kalau Laa Ilaaha Illallah dimaknakan seperti itu tidaklah benar karena ilah bukan maknanya yang mampu untuk menciptakan yang baru tapi yang diibadahi sebagaimana penjelasan pada point nomor 2.
  • Mengeluarkan keyakinan yang pasti dari dzatnya segala sesuatu dan memasukkannya pada dzatnya Allah. (ARAB)
Maka tafsiran ini batil, tidak dikenal oleh para Salafus Sholeh dan bukan pula yang dimaksud dengannya untuk meyakini ‘ Azza Wa Jalla dan mengeluarkan keyakinan dari selainNya karena sesungguhnya ini tidak mungkin karena sesungguhnya keyakinan itu tsabit (tetap) pada selain Allah, sebagaimana firman Allah dalam surah At-Takatsur ayat 6-7 :
  • لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat)”. (QS. At-Takatsur : 102/6-7).

Maka meyakini sesuatu yang terjadi dan menjadi kenyataan yang diketahui tidaklah menafikan tauhid.
Dan masih banyak makna yang salah tetapi yang banyak dan menyebar adalah makna-makna yang di atas dan umumnya makna-makna tersebut kembali kepada enam makna di atas. Wallahu A’lam .

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More