Sri Rama adalah seorang tokoh yang hidup di era Ramayana. Sri Rama atau Prabu Ramawijaya, gelar ketika menjadi raja di Ayodya, adalah anak dari Prabu Dasarata, raja Ayodya terdahulu dengan istri pertamanya, Dewi Ragu atau Dewi Kosalya. Prabu Dasarata memiliki tiga istri, yaitu Dewi Ragu yang kemudian melahirkan seorang ksatria Sri Rama. Yang kedua adalah Dewi Sumitra, yang melahirkan seorang ksatria bernama Laksmana, yang kemudian menjadi panglima negri Ayodya saat pemerintahan Ramawijaya. Sedang istri ketiga Dasarata, adalah Dewi Kekayi, yang melahirkan dua putra dan satu putri. Bernama Bharata, Satrugna, dan Dewi Kawakwa.
Sri Rama terkenal dengan wejangannya yang mendefiniskan syarat-syarat untuk menjadi pemimpin yang baik. Dimana terdapat delapan sisi pertimbangan, yang semuanya dianalogikan dengan sifat-sifat alam, yang dikenal dengan sebutan Astha-Brata. Wejangan itu banyak ditulis dalam beberapa buku karangan pujangga Jawa, yang diantaranya tertuang dalam kitab Nitisruti, Serat Makutharama, dan Serat Rama Jarwa.
Nasehat ini dua kali disampaikan oleh Ramawijaya. Pertama dinasehatkan kepada adiknya Raden Bharata. Dan kali kedua disampaikan kepada Arya Wibisana. Adik Dasamuka yang membelot memihak Rama dalam penyerangannya ke negri Alengkapura.
Dikisahkan bahwa Prabu Dasarata, sang raja Ayodya, begitu senang ketika lahir putra pertamanya dengan permaisuri Dewi Ragu. Seorang anak yang sudah terpancar aura pemimpin dari rona wajahnya. Sehingga Dasarata sudah membayangkan bahwa suatu saat dia akan menyerahkan tampuk pimpinan kerajaan Ayodya kepada sang anak. Dia namai anak itu Sri Rama. Kemudian demi tujuannya agar Rama bisa memimpin negri sebaik-baiknya, maka Sri Rama pun sejak kecil digembleng segala ilmu, baik ilmu kautaman maupun ilmu kanuragan, oleh para resi dan begawan terpilih di negri Ayodya.
Kemudian lahir anak kedua Dasarata dari istrinya yang kedua, Dewi Sumitra. Seorang anak tampan yang diberi nama Laksmana. Kegembiraan Dasarata bertambah dengan membayangkan bahwa Laksamana suatu saat kelak akan menjadi panglima perang memimpin seluruh prajurit tangguh Ayodya.
Sehingga kemudian keduanya, baik Sri Rama maupun Laksmana, sedari kecil sudah hidup digembleng di padepokan-padepokan terpencil jauh dari pusat kerajaan Ayodya, demi sebuah cita-cita untuk menjadikan mereka penerus tahta Ayodya yang memiliki sifat kepemimpinan yang disegani rakyatnya maupun para raja negri tetangga.
Ketika kedua anak beranjak remaja itu jauh dari Dasarata sang orang tua, Raja Dasarata pun kembali tertarik kemolekan salah seorang putri bernama Dewi Kekayi. Dibutakan oleh gemuruh cinta itu, Dasarata lupa sehingga terlanjur dia ucap janji agar Kekayi mau dijadikan istrinya yang ketiga. Kekayi yang memasang syarat agar anak-anaknya kelak yang menjadi penerus tahta Ayodya. Dan ketertarikan Dasarata sudah cukup membuatnya lupa akan cita-citanya terhadap Sri Rama.
Dari Kekayi maka lahirlah putra sulung bernama Bharata. Sepanjang hidupnya selalu berada di dalam istana. Dikelilingi banyak abdi yang selalu siap membantunya. Sehingga ketika besar sebenarnya belum cukup dewasa untuk dikemudian hari menjadi pemimpin yang diharapkan akan memegang tahta sebuah negri besar semacam Ayodya.
Ketika Sri Rama pulang ke istana Ayodya, tak berhingga kegembiraan Dasarata melihat sorot mata Sri Rama yang seperti mengisyaratkan sosok pemimpin yang memang sempurna bakalan memimpin Ayodya. Maka dia berencana untuk segera mengumumkan kepada seluruh negri penobatan Sri Rama sebagai Pangeran Anom. Sebuah sebutan bagi putra mahkota yang memang sudah disiapkan akan menggantikan raja.
Beban pikiran yang cukup berat itu, membuat Dasarata semakin tidak peduli kepada kesehatannya. Pandangan matanya mulai kabur, pikirannya sudah tidak bisa diharapkan seperti layaknya seorang pemimpin. Cara bicaranya sudah kacau. Badannya semakin kurus. Sri Rama yang berusaha mencari keterangan, apa gerangan yang menjadi beban pikiran Dasarata, memperoleh panjang lebar penjelasan dari Dewi Kekayi, yang memang menginginkan anaknya memimpin negri.
Mendengar keterangan Kekayi, Sri Rama pun diam. Tak lama kemudian cepat dia mengambil keputusan agar penobatan gelar Pangeran Anom jangan lagi ditunda, dan Sri Rama sendiri yang kemudian mengumumkan bahwa gelar Pangeran Anom diberikan kepada Raden Bharata. Semua orang terkejut, tapi demikianlah keputusan yang keluar dari mulut Sri Rama, mewakili ayahnya yang memang sudah hampir lumpuh tak dapat bicara.
Dibalik riuh rendah sebagian orang tertawa, sebagian berdebat, sebagian lagi bertanya-tanya, atas pengangkatan Bharata, Rama yang kala itu barusaja menikah dengan Sinta, diam-diam pergi dari Ayodya, mengembara ditemani oleh Laksamana yang setia. Tak ada seorang pun diistana yang tahu.
Sementara kesehatan Dasarata yang semakin memburuk membuat para sesepuh istana segera mendesak agar Bharata menggantikan sang ayah untuk menjalankan roda pemerintahan. Bharata, seorang muda yang miskin pengetahuan kautaman dan kanuragan, belum cukup ditempa kemampuan memimpin sebuah negri itu pun tergagap ketika hari demi hari kemudian dia harus menjalankan roda pemerintahan negri Ayodya. Waktu berlalu, dan situasi Ayodya justru memburuk. Banyak keputusan Bharata yang dirasakan ambigu. Wibawanya di depan senapatinya juga masih labil.
Sehingga atas nasehat para sesepuh istana, Bharata kemudian pergi dari istana untuk mencari Sri Rama. Berbulan-bulan dia menelisik di setiap sudut negri Ayodya, akhirnya di sebuah gubug hutan, Bharata ditemani beberapa senapatinya menemukan Sri Rama. Bharata pun menangis memeluk sang kakak. Penyesalannya tumpah karena terlalu memaksakan tahta di Ayodya. Memerintah negri ternyata tidak semudah yang dia bayangkan sebelumnya. Dia pun meminta Sri Rama pulang, dan tahta Ayodya diserahkannya kepadanya.
Tak ada kata ya ataupun menolak dari Sri Rama atas tahta yang diberikan. Sri Rama hanya menjabarkan nasehat tentang watak pemimpin kepada Bharata. Delapan watak seorang pemimpin yang harus menjadi pertimbangan dalam pemikiran, perkataan, tingkah laku dan setiap keputusan yang diambil dalam mengemban amanah memimpin sebuah negri. Delapan hal yang disebut dengan nama Astha-Brata. Setelah itu Bharata diminta pulang kembali ke Ayodya.
Rama pun meneruskan pengembaraannya. Ketika suratan takdir kemudian menuliskan bahwa istrinya, Sinta telah diculik. Saksi sosok Garuda Jatayu, dalam keadaan sekarat sempat mengisahkan kepada Rama dan Laksmana, bahwa sang penculik adalah raja besar Alengkapura, Rahwana alias Dasamuka. Maka Rama dan Laksmana pun pulang ke Ayodya dalam upaya menyusun rencana untuk meminta kembali Sinta.
Bharata yang melihat kakaknya pulang, berpikir bahwa Sri Rama bersedia untuk duduk disinggasana raja Ayodya. Sementara Sri Rama yang semula berharap akan menyusun pasukan di Ayodya, merasa tawaran yang ia terima untuk menduduki tahta Ayodya, seperti sebuah kesempatan untuk mendapatkan pengaruh dan menyusun kekuatan untuk mengambil Dewi Sinta.
Sebuah misi untuk meminta baik-baik Sinta, diperintahkan oleh Rama. Sebuah misi yang dilakukan oleh seorang ksatria tangguh Bangsa Kera, bernama Hanoman. Misi yang gagal, ketika semua senapati Alengkapura sudah bersiap menghadapi Hanoman dengan kekerasan. Hanoman pun marah dan menjadikan ibukota Alengkapura layaknya lautan api.
Salah seorang adik Rahwana, bernama Arya Wibisana, rupanya melihat bahwa sang kakak adalah pihak yang bersalah, dan dia memilih untuk membelot dan menjadi penasehat Rama. Dialah yang kemudian memberi nasehat kepada Rama agar Ayodya menyerang Alengkapura, sebuah negri yang dipisahkan selat. Maka ribuan pasukan pun dikerahkan untuk membendung selat sehingga terbentang jalan dari Ayodya menuju Alengkapura untuk sebuah misi penyerangan. Sebuah pertempuran dahsyat yang akhirnya menewaskan Dasamuka dan seluruh kerabatnya. Hanya Arya Wibisana yang tersisa, sebagai orang yang kemudian paling berhak atas tahta Alengkapura.
Mendengar itu Wibisana justru terpekur terpaku. Walaupun kakaknya dipihak yang salah, bagaimana pun juga Rahwana adalah kakaknya dan dia merasa sedih telah kehilangan kakaknya. Pelimpahan negri Alengkapura justru disikapi dengan kesedihan dan rasa bersalah yang teramat sangat. Saat itulah kemudian Rama menasehati Wibisana dengan hal yang sama yang pernah dia nasehatkan kepada Bharata. Delapan watak pemimpin yang disebut dengan Astha-Brata.
Sri Rama mengenalkan konsep Astha-Brata sebagai simbol bahwa gaya kepemimpinan itulah yang dia pakai dalam dia menjalani kehidupan memimpin diri, orang-orang disekitarnya, dan negri Ayodya. Delapan watak yang mengambil inspirasi alam sebagai bekal untuk memimpin. Yaitu watak Bumi, yang memiliki sifat menampung hal yang ada diatas dunia ini, baik, buruk, berat, ringan, semua diterima apa adanya. Bumi tak pernah membedakan bahwa dia hanya akan menerima yang baik untuk hidup diatasnya, sementara si jahat di lempar ke angkasa,.. tidak, bumi tidak demikian. Dia menerima semuanya.
Kemudian watak Matahari. Yang menerangi seluruh permukaan bumi sama rata. Tak ada hal lain yang dilakukan matahari selain selalu memberi sinarnya demi menebar manfaat kepada siapa pun yang ada dimuka jagad. Adanya matahari juga memungkinkan siklus air terjadi. Oleh matahari, air laut menguap, menjadi awan diangkasa, dan ketika saatnya untuk turun menjadi hujan, maka air itu tercurah memberikan kesegaran bagi semua makhluk, dan kembali mengalir ke laut. Begitu seterusnya. Sebuah analogi bahwa watak matahari memberikan contoh bahwa seorang pemimpin harus mampu menangkap aspirasi dari bawah, yang kemudian pada saat yang tepat mencurahkan kembali kepada semua orang yang dipimpinnya untuk mendapatkan kesegaran baru.
Yang ketiga adalah watak Rembulan. Sebuah sifat unik dari rembulan adalah, walaupun dia tidak memiliki sinar sendiri, tapi dia mampu menerangi gelap malam. Seorang pemimpin, harus bisa menggalang kekuatan walaupun kekuatan itu tidak dari dirinya sendiri, untuk kemudian memberi sinar terang pada setiap kegelapan. Dengan kekuatan itu memberi penyelesaian dari setiap masalah.
Watak Angin, tak kalah menariknya. Angin tak dapat dipegang, tak dapat dilihat, tapi kekuatannya mampu menjungkir balikan kapal besar sekalipun. Angin dapat menyusup kemana-mana ke lubang kecil sekalipun. Sehingga dari gambaran watak angin, seorang pemimpin harus mampu melihat dan mendengar apa yang tersembunyi. Seorang pemimpin walaupun dia memiliki kekuatan harus bisa memperlihatkan kesejukannya, dan hanya menggunakan kekuatannya bila keadaan memang benar-benar perlu.
Watak berikutnya adalah Samudra. Terdiri dari air dengan jumlah yang begitu banyak mengisi cekungan-cekungan. Yang menjadi ciri khas dari air dalam samudra, adalah sifatnya yang begitu luas, seorang pemimpin harus bisa melihat wawasan secara luas. Mampu melihat hal-hal yang orang lain tidak melihat. Sementara ada lagi sifat air yang menarik yaitu selalu mengisi apa pun wadahnya, menyesuaikan bentuknya. Pertanda pemimpin harus bisa menyelami setiap orang yang dipimpinnya, dan mampu memahami masing-masing orang ataupun kelompok demi mengakomodasi kepentingan –kepentingan mereka.
Yang berikutnya adalah Api. Sebuah fenomena alam, yang dengan reaksinya mampu membakar dan menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Sebuah penggambaran watak agar dalam menyelesaikan persoalan haruslah tuntas. Sampai benar-benar tujuannya tercapai. Tidak setengah-setengah, sepotong-sepotong. Semuanya harus sesuai porsinya dan selesai sampai seperti yang direncanakan. Penggambaran api ini juga melambangkan seorang pemimpin harus jelas dan tegas dan melaksanakan hukuman atau memberi hadiah kepada setiap orang yang dipimpinnya.
Bintang, banyak dikenal sifatnya selain wujud keindahannya, bintang juga memberi arah kemana harus pergi. Demikian juga seorang pemimpin. Keindahan berarti, bahwa pemimpin harus dapat memberikan rasa ketentraman kepada siapa pun yang dipimpinnya. Juga pemimpin harus dapat memperlihatkan arah. Yang berarti dapat memberikan informasi secara akurat kepada orang-orang yang dipimpinnya tentang dimana mereka saat ini berdiri, dan kemana mereka sebaiknya berjalan menuju.
Watak yang kedelapan adalah Awan. Banyak juga ditafsirkan sebagai sifat mendung. Satu keadaan alam yang bisa berarti dua, yaitu sebuah kecerahan, yang berarti sebuah harapan, dan awan gelap yang memberi makna agar dapat menciptakan kondisi wibawa terhadap siapa saja yang dipimpinnya. Tapi dua sisi ini bisa dianggap benar, kesan seorang pemimpin suatu ketika harus mampu memberikan sebuah harapan sehingga setiap orang termotivasi untuk selalu menjadi lebih baik. Dilain pihak, suatu ketika pemimpin harus memperlihatkan ketegasan-ketegasan demi sebuah wibawa, agar orang-orang yang dipimpin patuh untuk bersama-sama mencapai tujuan.
Lalu, kepemimpinan seperti yang dimodelkan oleh Sri Rama ini, apakah mensyaratkan bahwa seseorang bisa memiliki kedelapan watak secara bersamaan? Saya sendiri berpendapat bahwa hal ini bukan dimaksudkan demikian. Kecuali anda seseorang yang memiliki kepribadian ganda –yang sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif- maka tak mungkin seseorang bisa memiliki watak yang berbeda secara bersamaan. Terminologi watak disini lebih dimaksukan sebagai sebuah cara pandang sebelum kita mengambil keputusan akan suatu hal. Dan cara pandang itu akan lengkap ketika kita melakukan penglihatan dengan merujuk kepada setiap sudut cara pandang yang oleh Rama dicontohkan berjumlah delapan.
Astha-Brata ini mengingatkan saya kepada ide Edward de Bono, yang sekita tahun 1985, menulis buku yang berjudul ‘TheSix Thingking Hats”. Sebuah metode pemikiran untuk membantu dalam hal melihat dari berbagai sisi untuk berpikir secara paralel, sehingga dalam mempertimbangkan sesuatu hal sebelum diambil keputusan, dapat melihat secara lebih lengkap.
Saya sendiri berpikir bahwa menghubungkan Astha-Brata dengan Six Thingking Hats, bisa jadi sebuah ide yang agak vulgar dan terbuka ruang untuk sebuah perdebatan. De Bono mencoba membuat model perumpamaan sebuah topi, yang bisa dipakai dan diletakkan. Dan uniknya perumpamaan topi ini, kita bisa langsung tahu, bahwa ketika kita memakai sebuah topi, maka kita tidak mungkin memakai topi lain, tanpa sebelumnya melepas topi terdahulu. Kecuali bila anda ingin tampak seperti orang aneh.
Dalam berpikir untuk kemudian bisa jadi harus diambil keputusan, sebelumnya kita harus memakai topi secara lengkap agar pikiran dan hati kita bisa melihat dari sisi topi apa saat di dikenakan. Yang pertama adalah topi putih, yang merujuk pada pemikiran obyektif yang selalu melihat fakta, data, analisa angka-angka. Yang kedua adalah topi merah, yang ketika ‘dipakai’ adalah upaya untuk memunculkan pertimbangan emosi, intuisi, nurani. Sementara topi hitam, adalah pemikiran yang didasari pertimbangan logis sebab akibat yang lebih bersifat negatif, seperti sebuah prasangka buruk, dan sebagainya. Yang keempat adalah topi kuning, adalah kebalikan dari topi hitam, topi kuning ini mendasari pertimbangan logis pada kecenderungan sesuatu yang lebih positif. Topi hijau, adalah sebuah bentuk pemikiran yang kreatif, mmebuka alternatif-amternatif, membuka kemungkinan-kemungkinan baru dari yang ada sekarang. Sementara topi biru, adalah seperti pertimbangan yang menjembatani semua topi-topi lainnya. Ketika kita memakai topi biru kita akan merasakan apakah perlu untuk memakai topi kuning lagi, atau memakai topi merah lebih lama dan sebagainya.
Seorang pemimpin, dalam berpikir, harus mampu –seperti digambarkan de Bono- untuk setiap saat memakai topi warna tertentu, menganalisanya, kemudian melepasnya dan memakai topi lain, dan secara lengkap setiap topi dicoba sebelum akhirnya benar-benar memutuskan sesuatu.
Analogi ini bila saya kaitkan dengan Astha-Brata, bahwa seorang pemimpin harus setiap saat bisa melihat sisi pandang watak angin, menganalisanya, membuat daftar konsekuensinya, kemudian menggeser penglihatan kepada watak bintang, melihat dampaknya, memunculkan pertimbangan matahari dan sebagainya. Melihat semuanya secara lengkap sebelum akhirnya benar-benar memutuskan untuk berkata atau melakukan sesuatu. Dan keputusan yang terjadi bisa jadi hanya perwujudan dari watak angin, atau sebuah gabungan watak samudra dan watak rembulan. Atau mungkin ada sedikit dominasi watak api.
Seperti kisah Sri Rama yang seperti tidak secara lugas menyatakan kesediaannya ketika diminta Bharata untuk pulang dan duduk di singgasana Ayodya, keputusan itu seperti wujud sebuah watak samudra. Sementara ketika kemudian dia pulang ke Ayodya saat tahu istrinya diculik dan dengan sigap mengambil alih tampuk Ayodya untuk menegakkan kewibawaan kerajaan atas pelecehan yang dilakukan Alengkapura, tampak yang dominan adalah watak api disana.