Berikut ini penjelasan sederhana tentang hal-hal yang membatalkan wudhu
Pertama: yang keluar dari dua jalan qubul (kemaluan) dan dubur (anus)
Yang keluar dari dua jalan ada dua bentuk.
1. Yang biasa keluar seperti buang air kecil, besar, keluar mani, madzi, wadi dan kentut hal ini merupakan pembatal wudhu menurut kesepakatan para ulama sebagaimana di nukilkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Qudamah dan an Nawawi.
Adapun perincian penjelasan dan dalil-dalilnya sebagai berikut.
- Buang air kecil
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no 135)
- Buang air besar
Dalilnya, Firman Allah Ta’aala,
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” (al-Maidah:6)
- Buang angin (kentut)
dari Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim berkata, “diadukan kepada Rasulullah tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Beliau bersabda,
لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya –ed) sampai ia mendengar bunyi kentut tersebut atau mencium baunya.” (HR. al-Bukhari no 137 dan Muslim no 361)
- Keluar madzi
Hal ini beradasarkan sebuah hadits, di mana Ali bin Abi thalib berkata”Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah karena keberadaan putrinya (Fatimah) yang menjadi istriku. Akupun meminta Miqdad Ibnu Aswad untuk menanyakan kepada Rasulullah, beliau menjawab:
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. al-Bukhari no 269 dan Muslim no 303)
- Keluar Wadi
Keluar wadi hukumnya sama dengan keluar madzi atau air kencing
- Keluar mani
Keluar mani membatalkan wudhu, bahkan wajib baginya untuk mandi karena di dihukumi dalam keadaan janabah, tidak cukup hanya sekedar wudhu.
2. Yang tidak biasa, dan ini jarang terjadi, keluar darah, cacing, rambut atau yang lainnya yang tidak biasa. Hal ini diperselisihkan para ulama tentang apakah terhitung sebagai pembatal wudhu. Mayoritas ulama berpendapat hal tersebut sebagai pembatal wudhu pendapat inilah yang dipilih Ibnu Qudamah dan Ibnu Utsaimin
Kedua: Naum al-Mustaghriq (tidur yang nyenyak), yaitu tidur yang tidak tersisa lagi kesadaran padanya, dimana jika dia berhadats dia tidak tahu. Dalam sebuah hadits,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ ، إلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Adalah Rasulullah memerintahkan jika kami safar agar tidak menanggalkan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam, kecuali karena janabah, tetapi tidak karena buang air besar, buang air kecil dan tidur.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan yang lainnya, di hasankan oleh syaikh al-Albani dan syaikh Muqbil)
Dari Ali bahwa Rasulullah brsabda
الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Mata adalah pengawas dubur-dubur; maka barangsapa yang tidur (nyenyak), hendaklah dia berwudhu.” (HR Ibnu Majah no 477, di shahihkan oleh syaikh al-Albani)
Ketiga: Hilangnya akal, dengan gila, pingsan, sakit atau mabok atau yang semisal dengannya.
Tentang hal ini adanya ijma sebagaimana di nukilkan oleh Ibnul Mundzir dan an-Nawawi. Berkata Ibnu Mundzir: “Para ulama sepakat wajibnya bersuci atas orang yang hilang akalnya dikarenakan gila atau pingsan.” (al-Austh:1/155)
Keempat: Makan daging unta.
Makan daging unta termasuk pembatal wudhu menurut pendapat yang terpilih, insya Allah. Hal ini berdasarkan dalil, dari Jabir bin samurah
أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ ؟ قَالَ : إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ ، وَإِنْ شِئْتَ فَلا تَوَضَّأْ ، قَالَ : أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ
bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi, apakah saya berwudhu dikarenakan makan daging kambing?. Beliau menjawab, “Jika kamu mau silahkan berwudhu, jika tidak maka jangan berwudhu (lagi).” Dia bertanya lagi, apakah saya berwudhu jika makan daging unta? Beliau menjawab, “Iya, berwudhulah karena makan daging unta.” (HR. Muslim no 360)
Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baaz dan Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Termasuk pembatal wudhu makan bagian unta yang lain selain dagingnya seperti makan hati unta, atau limpanya . Ini pendapat yang dirajihkah oleh Ibnu Utsaimin. Adapun meminum susu unta tidak membatalkan wudhu menurut pendapat yang terpilih, dan ini pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam bish shawwab.
Kelima: Menyentuh kemaluan tanpa penghalang.
Wallahu a’alam bish shawwab, kami pribadi cenderung kepada pendapat menyentuh kemaluan tanpa penghalang sebagai pembatal wudhu. Berdasarkan hadits dimana Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang memegang kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dan Muqbil)
Dan ini pendapatnya Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur dan yang lainnya
Termasuk menyentuh kemaluan orang lain sebagai pembatal wudhu, misalnya seorang ibu menggantikan celana untuk anaknya kemudian menyentuh kemaluan anaknya. Ini yang di fatwakan oleh Lajnah Da’imah dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim alu Syaikh. Begitu juga menyentuh dubur (anus) membatalkan wudhu, ini pendapat yang kami cenderung kepadanya. Dan ini pendapat yang di pilih oleh syaih Ibnu Baaz
Keenam: Murtad
Dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wata’aala
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Sungguh jika kamu berbuat syirik, maka tentu amalmu akan terhapus.” (Az-Zumar:65)
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Dan barangsiapa yang kafir setelah iman, maka amalnya terhapus.” (al-Maidah:5)
Ini pendapatnya al-Auza’i, Ahmad dan Abu Tsaur. Dan pendapat ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnu Baaz dan Ibnu Utsaimin.
Demikianlah penjelasan sederhana tentang pembatal-pembatal wudhu. wallahu a’lam bish shawwab.
Abdullah al-Jakarty (https://inginbelajarislam.wordpress.com/)